Penolakan UU Omnibus Law Meluas, Muhammadiyah Minta Warga dan Masyarakat Tahan Diri
Penolakan dengan menggelar aksi demo terhadap regulasi omnibus law UU Cipta Kerja terus mengalir baik dari masyarakat buruh maupun mahasiswa. Agar tidak menjadi klaster baru di masa pandemi COVID-19, masyarakat diminta menahan diri. Langkah terbaik adalah mengajukan judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti meminta kepada seluruh elemen masyarakat menahan diri dan menerima keputusan DPR dan pemerintah regulasi Omnibus law UU Cipta Kerja.
Keputusan tersebut merupakan sebuah realitas politik. Disarankan jika merasa keberatan, sebaiknya melayangkan gugatan ke MK. "Kalau memang terdapat keberatan terhadap UU atau materi dalam UU dapat melakukan judicial review," katanya, Selasa (7/10).
Dikatakannya, sejak awal Muhammadiyah meminta DPR menunda bahkan meminta membatalkan pembahasan RUU Omnibus Law. Dia menilai, demo dan unjuk rasa tidak akan menyelesaikan masalah.
Bahkan menurutnya akan menimbulkan masalah baru di tengah pandemi COVID ini. "Selain karena masih dalam pandemi COVID-19, di dalam RUU juga banyak pasal yang kontroversial," katanya.
Dikatakannya, RUU Cipta Kerja, tidak banyak mendapatkan tanggapan dari masyarakat luas. Padahal, seharusnya sesuai regulasi setiap RUU harus mendapatkan masukan dari masyarakat. Anehnya, pembahasan RUU itu jalan terus, bahkan sampai disahkan.
"Memang usul Muhammadiyah dan beberapa organisasi yang mengelola pendidikan telah diakomodasi oleh DPR. Lima UU yang terkait dengan pendidikan sudah dikeluarkan dari Omnibus Cipta Kerja," tuturnya.
Akan tetapi, masih ada pasal terkait dengan perizinan yang masuk dalam Omnibus Cipta Kerja. Memang soal ini akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. "Karena itu, Muhammadiyah akan 'wait and see' bagaimana isi Peraturan Pemerintah," katanya.
Sementara Pengamat ekonomi Universitas Lambung Mangkurat Muhammad Handry Imansyah menilai disahkannya UU Cipta Kerja justru dapat memberikan kepastian hukum dalam rekrutmen tenaga kerja dan pengembangan produktivitas para tenaga kerja melalui berbagai pelatihan.
"Terdapat pasal mengenai jaminan pelatihan kerja bagi tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan untuk pekerja yang ikut BPJS tenaga kerja yang membayar iuran," katanya dalam keterangan tertulisnya.
Dia juga menyesalkan adanya informasi dalam UU Cipta Kerja telah menghapus ketentuan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK). Ketentuan UMK dan UMSK sebelumnya diatur di Pasal 89 UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Padahal, upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota masih tetap ada dengan regulasi terkait ditetapkan oleh gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari dewan pengupahan provinsi/bupati/wali kota.
"Kenaikan upah tiap tahun juga berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi, dan jika memang ada perbedaan angka dapat diselesaikan dengan negosiasi seperti yang sudah berlaku," tegasnya.
Tak hanya itu, ketentuan soal pesangon juga ada dan diatur lebih detail dengan rincian antara lain kerja kurang dari satu tahun dapat satu bulan gaji dan lebih dari satu tahun dapat dua bulan gaji.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: