Teknik Memancing

Teknik Memancing

Namun, karena Pak Terawan belum merespons, saya berpikir perlunya pendekatan yang dapat menerobos kebekuan informasi mendasar tentang Covid-19.

Saya merasa cukup urgent bagi pemerintah menjelaskan langkah-langkah yang sudah, sedang, dan akan diambil secara padu, tidak fragmentaris dan tersebar dari berbagai institusi ad hoc, karena kadang kala pernyataan pejabat-pejabat itu berbeda-beda, dan tidak jarang saling bertabrakan.

Ide menghadirkan kursi kosong itu muncul saat kami berdiskusi secara internal untuk menjawab pertanyaan sederhana: bagaimana mendudukkan perkara penanganan Covid-19 ini pada tempatnya. Kata kuncinya: Duduk perkara. Duduk. Kursi.

Jadi, mengajukan pertanyaan di hadapan kursi yang kosong, yang sedianya kursi itu diduduki Pak Terawan, adalah usaha mendudukkan penanganan Covid ini kepada kursinya —artinya kepada proporsinya.

Ada yang mengatakan bahwa mestinya presiden yang duduk di situ, karena presiden adalah tampuk tertinggi eksekutif. Pendapat itu tidak salah, tapi jangan lupa saya pernah mewawancarai Presiden Jokowi. Dan salah satu pertanyaan spesifik saya adalah soal kinerja menteri kesehatan.

Saat itu presiden menilai kinerja Pak Terawan bagus-bagus saja. Setelah wawancara itu, presiden dalam salah satu rapat sempat bicara reshuffle, namun tidak ada reshuffle kan? Jadi, saya menilai presiden masih dalam posisi yang sama terkait kinerja menkes.

Pernahkah di luar negeri ada host TV melakukan seperti itu?

Di negara-negara dengan tradisi demokrasi dan debat yang sudah mengakar, menghadirkan bangku kosong sudah kerap terjadi. Tahun lalu saja, seingat saya, Sky News di Amerika dan BBC di Inggris melakukannya. Setelah saya nonton lagi beberapa sample interview yang menghadirkan bangku kosong, saya menangkap kesan bahwa di negara-negara seperti itu, ketidakhadiran para pejabat publik dianggap sebagai sesuatu yang serius.

Jon Snow, jurnalis senior di Inggris, yang lama mengampu program Channel 4 News, pernah menyoroti hal ini dalam sebuah artikel yang menarik beberapa tahun lalu. Ia menutup artikelnya dengan pertanyaan penting: "Should we just lie back and allow the ripples of unavailability to wash over us as we sink into a stupor of not knowing quite what the Government is trying to do, even if they do?”

"Even if they do,” kata Jon Snow, menyiratkan bahwa pemerintah telah melakukan sesuatu adalah satu hal, tapi menjelaskan hal itu dengan padu adalah hal yang sama pentingnya.

Ada yang mengatakan bahwa kinerja pemerintah sudah bagus, "hanya” komunikasinya yang perlu diperbaiki. Menurut saya, di masa pandemi seperti ini, komunikasi itu bukan sekadar "hanya", ia penting, bahkan mendasar. Dalam situasi yang centang perenang, komunikasi yang clear, jernih, dan jelas dari pemilik otoritas sama pentingnya dengan kebijakan dan langkah-langkah konkret itu sendiri.

Apakah Anda tidak takut akan tekanan yang akan datang?

Biar bagaimana pun, Mata Najwa masih menggunakan frekuensi publik (walau tayangan kursi kosong kemarin tidak memakai frekuensi TV, free to air lho ya), sehingga wajar jika ada yang mengkritik. Tidak apa-apa. Saya tidak tersinggung jika ada yang mengkritik kinerja saya sebagai jurnalis dan presenter sebuah program talkshow yang banyak membahas isu-isu publik. Barang siapa yang membahas dan membicarakan isu publik, ia mesti siap diperdebatkan argumentasi dan pilihan-pilihannya.

Kalau pun ada tekanan, yang sekarang bukan hal baru, karena Mata Najwa bukan kali ini saja fokus pada satu isu dan menekankannya secara berkali-kali. Soal PSSI, Setya Novanto, pengistimewaan koruptor, hingga pelemahan KPK, misalnya, Mata Najwa juga sangat jelas posisi dan fokusnya.

Tekanan karena tayangan kursi kosong kemarin masih dalam batas wajar. Ada yang mendukung dan ada yang keberatan, dan ada yang menyampaikan secara langsung. Masih dalam batas kewajaran. Masih bagian dari percakapan menyangkut topik-topik kepublikan. Diskusinya masih cukup sehat, saya kira.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: