Hukuman 23 Koruptor Dipotong MA, KPK Serahkan Penilaiannya ke Masyarakat

Hukuman 23 Koruptor Dipotong MA, KPK Serahkan Penilaiannya ke Masyarakat

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanggapi putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan upaya Peninjauan Kembali (PK) mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. KPK berpandangan, ini merupakan cerminan belum adanya komitmen dan visi antar-aparat penegak hukum yang sama menyangkut korupsi merupakan kejahatan luar biasa.

"Bagi KPK ini cerminan belum adanya komitmen dan visi yang sama antar-aparat penegak hukum dalam memandang bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa," ujar Pelaksana Tugas Juru Bicara bidang Penindakan KPK Ali Fikri melalui pesan singkat, Kamis (1/10).

Sejak awal, kata dia, KPK telah menaruh perhatian serta prihatin terhadap sejumlah putusan PK yang dikabulkan MA. Sebab, hal itu mengurangi pemidaan yang harus ditanggung para koruptor.

Ali menegaskan, masyarakat dapat mengawal serta menilai rasa keadilan pada setiap putusan PK yang dijatuhkan majelis hakim tersebut. Meski, ia mengakui PK sejatinya merupakan upaya hukum dan hak yang diberikan kepada setiap terpidana.

"Kami tegaskan kembali sekalipun PK adalah hak dari terpidana sebagaimana yang ditentukan UU namun pada gilirannya masyarakat juga akan ikut mengawal dan menilai rasa keadilan pada setiap putusan majelis hakim tersebut maupun terhadap kepercayaan MA secara kelembagaan," kata Ali.

Senada, Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango menyerahkan penilaian atas putusan-putusan PK tersebut kepada masyarakat. Ia mengatakan, yang terpenting KPK telah melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai institusi penegakan hukum.

"Hal yang diharapkan dari Mahkamah Agung sekarang ini hanyalah agar salinan-salinan putusan dari perkara-perkara tersebut bisa segera diperoleh KPK. PK kan adalah upaya hukum luar biasa, tak ada lagi upaya hukum lain yang dapat dilakukan KPK," kata dia.

Berdasarkan data KPK, Anas Urbaningrum merupakan terpidana korupsi ke-23 yang mendapatkan pengurangan hukuman di tingkat PK sepanjang 2019 hingga 2020. Hingga kini, KPK mengaku belum menerima salinan putusan-putusan PK tersebut secara resmi dari MA.

Menanggapi hal ini, Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah menilai sejumlah protes yang dilayangkan KPK terkait putusan PK sebagai hal yang wajar. Karena, menurutnya, KPK dalam posisi ini selaku penyidik sekaligus penuntut umum.

"Pertanyaan KPK sah-sah saja, karena KPK selaku penyidik dan penuntutnya," kata Abdullah.

Dalam suatu tuntutan, kata Abdullah, jaksa penuntut umum (JPU) kerap menuntut majelis hakim untuk menjatuhkan pidana setinggi-tinggnya kepada terdakwa. Namun pada praktiknya, diterangkan dia, pandangan majelis hakim tidak bisa dipaksakan sekalipun oleh JPU.

Terlebih, sambungnya, seluruh hakim baik di tingkat pertama, banding, kasasi, hingga PK memiliki independensi dan dalam mengadili suatu perkara tidak dapat diintevensi pihak manapun.

"Ada kala kalanya hakim tingkat banding, kasasi, dan PK sependapat dengan majelis hakim tingkat pertama. Adakalanya tidak sependapat. Putusannya bisa saja sama, lebih rendah atau bebas dan bisa lebih tinggi," ucapnya.

Adapun terkait salinan putusan PK yang belum KPK terima secara resmi, Abdullah menyatakan, tengah melalui proses minutasi atau pemberkasan perkara. Kecepatan prosesnya, kata Abdullah, dipengaruhi oleh sejumlah hal. Apalagi, menurutnya, Jakarta kini tengah menerapkan PSBB yang berpengaruh terhadap kecepatan proses minutasi.

Sumber: