Tinjau Ulang Pilkada Serentak, Busyro Muqoddas: UU Pilkada sekaligus UU Pemilu Biang Kerok Demokrasi yang Tran

Tinjau Ulang Pilkada Serentak, Busyro Muqoddas: UU Pilkada sekaligus UU Pemilu Biang Kerok Demokrasi yang Tran

Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 masih jadi pembahasan sejumlah pihak. Pertimbangan pelaksanaan sebagai konstitusi atau kesehatan dan keselamatan rakyat dari ancaman COVID-19, menjadi sesuatu yang dilematis.

Padahal, anjuran untuk menunda Pilkada hingga kondisi membaik telah digaungkan sejumlah ormas besar. Salah satunya PP Muhammadiyah yang mengusulkan untuk menunda.

Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM dan Kebijakan Publik, Busyro Muqoddas, meminta pemerintah untuk meninjau ulang pelaksanaan Pilkada Serentak 9 Desember 2020 nanti.

Muhammadiyah sudah jauh hari bersurat secara resmi kepada pemerintah dan DPR untuk menunda pelaksanaan pilkada. Hanya saja, Presiden Joko Widodo tetap melanjutkan pelaksanaan pilkada.

"Pemerintah mengambil keputusan untuk keukeuh mengadakan Pilkada 9 Desember nanti. Ini, perlu ditinjau ulang. Harus ada Peninjauan Kembali keputusan Pilkada Desember 2020," kata Busyro Muqoddas, Rabu (30/9).

Di samping meninjau ulang keputusan penundaan Pilkada 2020, lanjut Busyro, pemerintah bisa lebih memprioritaskan penanganan pandemi di tanah air yang kasusnya hingga kini masih mengalami peningkatan signifikan.

"Insya Allah jika karena tekanan publik berbasis kekuatan moral maka penundaan itu bisa menjadi skala proses recovery menangani dampak Corona," tuturnya.

Selain itu, Busyro juga meminta UU Pemilu, termasuk pilkada, agar dilakukan revisi. Sebab, akar masalah pelaksanan pemilu yang mengarah pada demokrasi transaksional itu ada pada UU Pemilu tersebut.

"UU Pilkada sekaligus UU Pemilu perlu direvisi secara demokratis. Karena maaf, itu merupakan biang kerok timbulnya persoalan-persoalan demokrasi yang transaksional," tambahnya.

Sementara itu, Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengatakan jika pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 menempatkan Indonesia dalam posisi sulit. "Grafik yang terus meningkat. Jumlah korban yang terus bertambah setiap harinya. Pelaksanaan pilkada memang menempatkan kita dalam posisi dilematis," kata Bamsoet di Jakarta, Rabu (30/9).

Menurutna, berdasarkan data per 28 Septemeber 2020 jumlah kasus positif tercatat lebih dari 270.000 kasus. Dengan angka kasus kematian di atas 10.000 kasus dan angka kesembuhan 206.000 kasus. Di sisi lain, pilkada adalah hak konstitusional masyarakat yang harus dipenuhi. Pilkada merupakan bagian dari tradisi demokrasi di Indonesia yang sehat.

"Di satu sisi situasi dan kondisi masa pandemi masih menimbulkan kekhawatiran untuk menyelenggarakan pilkada," jelasnya.

Ia meyakini, jika pemerintah akan selalu mempertimbangkan semua masalah terkait pelaksanaan Pilkada Serentak 2020. Penundaan pilkada, lanjut Bamsoet, memiliki konsekuensi adanya pelaksana tugas (plt) yang dalam melaksanakan tugasnya memiliki keterbatasan. Karena tidak bisa mengambil kebijakan strategis. Padahal, masa pandemi ini kebijakan strategis sangat dibutuhkan.

Pemerintah, DPR, dan KPU memang berjanji memperketat protokol kesehatan COVID-19 dalam pelaksanaan pilkada. Dia mendukung Komisi II DPR yang meminta revisi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Pilkada Serentak Lanjutan dalam Kondisi Bencana Nonalam COVID-19. (khf/rh/zul/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: