Dua Kapolda Lulusan Akpol 91 Ikut Turun saat Penolakan KAMI, Gde Siriana: Membuat Rezim Jokowi Panik

Dua Kapolda Lulusan Akpol 91 Ikut Turun saat Penolakan KAMI, Gde Siriana: Membuat Rezim Jokowi Panik

Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS) Gde Siriana Yusuf menilai, penolakan dan pembubaran deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) merupakan tanda bahwa KAMI memang benar-benar membuat penguasa atau rezim Jokowi saat ini takut dan panik.

“Deklarasi KAMI di Surabaya dibubarkan oleh KITA pertanda KAMI membuat penguasa makin takut dan panik,” ujar deklarator KAMI itu di akun Twitter, @SirianaGde, Senin (28/9) kemarin dikutip dari Pojoksatu. 

Gde Siriana ikut prihatin atas tindakan kepolisian di Jawa Timur dan NTB yang membubarkan deklarasi.

Bahkan, demi membubarkan acara itu, dua pimpinan polda yang menolak adanya deklarasi KAMI merupakan lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) tahun 1991.

“Mestinya Kapolda Jatim & NTB bisa jelaskn knp deklarasi KAMI tdk bs di Sby & Mataram, sdgkan kota lain meski ada aksi pnolakan ttp bs jalan. Ini soal prinsip2 dmokrasi. Aplg bpk2 Kapolda sm2 lulusan 91,” katanya di akun Twitternya.

Deklarator KAMI itu juga meminta kepolisian netral dan menjunjung hak demokrasi setiap warga negara.

“Juga pak Kapolres Sby mantan ajudan Pres Jokowi. Mestinya Sby kondusif demokrasi,” lanjutnya.

Menurut Gde Siriana, penolakan KAMI tersebut juga semakin membuat nama Gatot Nurmantyo dan KAMI semakin melambung.

Gde pun meminta kepada pihak kepolisian untuk berpihak netral mengamankan deklarasi KAMI di dalam gedung dan mengamankan aksi yang menentang KAMI di luar gedung.

“Sangat tidak rasional jika deklarasi KAMI dianggap inkonstitusional. Apakah Covid-19 memakan sebagian otak mereka hingga tidak bisa berfikir jernih tentang KAMI? Atau ketakutan bahwa KAMI akan jadi gelombang besar kesadaran nasional untuk selamatkan Indonesia?” jelas anggota Komite Politik dan Pemerintahan KAMI itu.

Gde Siriana curiga adanya kekuatan besar yang membuat mantan panglima TNI bisa terusir hanya dengan sedikit massa aksi dari KITA.

“Dengan massa se-upil KITA bisa mengusir Gatot Nurmantyo dari dalam gedung deklarasi. Jelas ada kekuatan besar yang membackup operasi mengamputasi KAMI. Dalam sejarah RI, tidak ada mantan pangab yang dianggap musuh penguasa. Ini pertanda KAMI dianggap berbahaya bagi keberlangsungan rezim,” kata Gde.

“Polisi semestinya berpihak netral, mngamankan deklarasi KAMI di dlm gedung, dan mengamankan aksi yg menentang KAMI di luar gedung. Tapi eniwei rasa takut, panik & pesan2 intimidasi kpd KAMI ini justru melambungkan nama Gatot Nurmantyo & KAMI,” sambungnya.

Gde juga merasa aneh karena banyak hal nyata yang tidak sinkron dari pembubaran deklarasi KAMI di Surabaya. Karena bukan hanya beralasan tidak ada izin dan melanggar protokol Covid-19, tetapi juga terdapat narasi penolakan keberadaan KAMI di Surabaya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: