Pilkada Tetap Digelar 9 Desember, Perludem Minta Pemerintah Pertimbangkan Ulang
Pemerintah, DPR RI, dan penyelenggara pemilu, masih optimistis menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak pada 9 Desember 2020 mendatang. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mendesak penyelenggara pemilu mempertimbangkan ulang keputusan tersebut.
"Perlu ada koordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terutama Satgas Penanganan COVID-19. Khususnya terkait risiko penularan dan update di 270 daerah yang akan melaksanakan Pilkada," ujar Peneliti Perludem, Maharddika di Jakarta, Rabu (23/9).
Menurutnya, harus ada indikator yang jelas terukur dan berbasis data untuk menentukan apakah pilkada lanjut atau tidak. "Ini harus terbuka bagi publik. Sehingga rasionalitas pengambilan keputusan bisa dilihat dan diuji bersama," imbuhnya.
Dia mengatakan sambil menunda, penyelenggara pemilu, Pemerintah, dan DPR bisa membenahi dan menyiapkan konstruksi hukum untuk melaksanakan pilkada di tengah bencana non alam. Konstruksi hukum itu, lanjutnya, diperlukan untuk menjamin dan memastikan keselamatan nyawa setiap warga negara.
"Konsekuensi-konsekuensi, penyesuaian dan tantangan harus betul-betul dipikirkan. Salah satu tahapan di depan mata yang perlu penyesuaian dan akan jadi sorotan adalah kampanye yang akan berlangsung selama kurang lebih tiga bulan. Kampanye yang sifatnya offline diperkirakan akan beralih pada online dan akan menjadi model kampanye baru menggantikan kampanye yang mengundang kerumunan,” paparnya.
Kampanye virtual melalui iklan politik yang dipasang di platform digital termasuk media sosial akan makin digemari. Karena memiliki beberapa keunggulan dibanding di media konvensional.
Pertama, partai dan kandidat dapat membuat iklan yang dipersonalisasi berbeda-beda sesuai dengan perilaku konstituen di dalam jaringan (online). Sehingga pesan yang disiapkan bisa lebih mengena.
Selain itu, distribusi iklan dapat ditargetkan spesifik pada kelompok-kelompok tertentu. Bahkan ke level individu sesuai lokasi , usia, isu yang menjadi perhatian.
“Metode kampanye virtual ini membawa beberapa risiko. Bagi individu, penargetan iklan politik dapat mengancam privasi. Pengumpulan data pribadi pengguna hingga perilaku menjelajah di daring dapat memberikan informasi yang cukup bagi pengiklan untuk menyingkap dan memetakan kecenderungan preferensi politik pengguna,” ucapnya.
Dari pemetaan ini, kata Maharddika, individu rentan menerima manipulasi informasi. Disinformasi hingga berita palsu bisa tumbuh subur dan luput dari pengawasan. "Karena hanya dapat dilihat oleh pengguna platform digital tertentu yang menjadi target," terangnya.
Hal senada disampaikan Peneliti Perludem lainnya, Nurul Amalia. Menurutnya, metode kampanye di platform digital juga bisa berdampak pada partai. Biaya iklan politik di media sosial dapat memberikan keuntungan yang lebih besar bagi partai yang memiliki dana kampanye lebih besar daripada partai lain.
Hal ini dapat menahan ide-ide politik dari partai dengan dana kampanye yang kecil. Partai juga akan makin bergantung pada platform digital untuk menjalankan kampanye politik modern.
“Bagi publik luas, penargetan iklan politik dapat membuat fragmentasi. Publik makin tersekat-sekat dengan kelompok yang sesuai dengan isu tunggal yang relevan bagi mereka secara pribadi,” tukasnya.
Meski membawa beberapa risiko, namun hingga saat ini belum ada regulasi yang dapat melindungi pemilih dari gempuran personalisasi iklan politik di platform digital. Perludem memandang, pengaturan iklan politik di media sosial yang sudah dirancang KPU masih berfokus pada hal teknis.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: