Pengamat Sebut Nadiem Makarim Gagal Jadi Mendikbud: Justru Mengacak-acak Sistem Pendidikan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim dan kebijakannya yang akan menghapus pelajaran sejarah rupanya mendapat tanggapan banyak pihak.
Bahkan, Direktur Lembaga Kajian dan Analisis Keterbukaan Informasi Publik Adri Zulpianto menyebut Nadiem gagal jika kinerjanya perihal pendidikan di tengah situasi pandemi Covid-19 yang menjadi tolak ukurnya.
Dia menuturkan, selama Covid-19 mewabah di Indonesia, Nadiem hanya bisa membuat masalah tanpa solusi dan bukan fokus terhadap penanggulangan Covid-19 dalam bidang pendidikan.
"Nadiem justru mengacak-acak sistem pendidikan. Sebagai menteri, Nadiem gagal mengelola masalah yang terjadi di dunia pendidikan selama Covid-19," ujar Adri dalam siaran pers yang dikutip dari Kantor Berita Politik RMOL, Senin (21/9).
Sejak awal Covid-19 menerpa Tanah Air, Adri melihat kebijakan Nadiem yang membuat Program Organisasi Penggerak (POP) Kemendikbud telah menjadi polemik, dan ditolak oleh dua organisasi besar NU dan Muhammadiyah.
Baru-baru ini, Nadiem kembali mengeluarkan kebijakan yang kontroversi karena ingin menghapus sejarah sebagai mata pelajaran wajib di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA).
"Maka dari itu, kebijakan yang dikeluarkan Nadiem selama ini tidak mampu menyentuh permasalahan secara implementasi dan fundamental selama masa kedaruratan wabah Covid-19," katanya.
Lebih lanjut, Adri memaparkan, persoalan inti yang dihadapi siswa, orang tua siswa dan juga para guru, yang seharusnya menjadi suatu kebijakan inti dari Kemendikbud.
Pertama, dipaparkannya, adalah persoalan pembelajaran daring yang belakangan muncul banyak masalah. Karena bukannya mengevaluasi hasil belajar siswa, justru setiap sekolah hanya mengedepankan laporan-laporan kinerja guru, bukan laporan evaluasi hasil belajar siswa.
"Setiap hari guru memberikan tugas hanya sebatas mengisi absen, tapi menyerah untuk mengevaluasi hasil belajar siswa. Menurut kami, Kemendikbud seharusnya mampu memonitoring dan mengevaluasi secara menyeluruh, bukan hanya kinerja guru, tapi juga perkembangan siswa yang selama ini belajar di rumah," ucapnya.
Adapun persoalan kedua ialah mengenai metode pembelajaran daring yang tidak mampu mengatasi keterbatasan proses ajar mengajar di sekolah menggunakan daring, yang secara riil tidak bisa dipenuhi karena keterbatasan finansial orangtua siswa.
"Karena selama kebijakan daring ditetapkan oleh kemendikbud, sebagian besar guru memberikan tugas di hampir setiap harinya, lalu oleh orangtua siswa tugas itu juga dicetak setiap harinya, tugas-tugas yang diberikan dan dicetak hampir setiap hari itu jelas membutuhkan dana yang cukup besar bagi orang tua yang dirumahkan bahkan di-PHK karena Covid-19," papar Adri.
Kemudian untuk persoalan inti ketiga yakni perihal banyaknya guru ekskul yang terbengkalai, karena tidak dapat diakomodir dengan baik kerjanya, dan akhirnya tidak mendapat gaji.
"Selain itu, kami melihat banyak guru ekskul yang tidak diperhatikan sama sekali oleh kemendikbud, kebijakan kemendikbud dengan meniadakan belajar ekskul ini tidak dapat diterima sama sekali. Selain mendiskriminasi guru ekskul, ini pun memperpanjang masalah perekonomian Indonesia selama Covid-19," jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: