Sindir Anies Baswedan, Arief Poyuono: Jangan Gayanya Saja PSBB, Faktanya ya Masih Juga Longar Kok
Di balik drama panggung politik, Jakarta memang membutuhkan penerapan PSBB yang efektif jika dilihat dari indikator epidemiologi. Tapi pascapenerapannya publik akan menagih janji pemerintah DKI Jakarta dari out put yang dibuat.
Karena pemulihan ekonomi merupakan solusi bukan sekadar berharap dari uluran Pemerintah Pusat. Aturan PSBB yang diterapkan dan durasi yang ditetapkan selama dua minggu jelas tidak cukup memadai untuk melandaikan kurva.
Apalagi dari angka-angka yang muncul, Jakarta saat ini memiliki 12 ribu kasus aktif, persentase kasus positif (positivity rate) sebesar 15 persen pada sepekan terakhir, dan 17 persen dari total kasus kematian di ibu kota terjadi pada September.
Sementara itu, tempat tidur di ruang isolasi di Jakarta telah terisi 78 persen dan ruang ICU terisi 85 persen pada sepekan terakhir, meski pun Pemerintah Pusat telah menjamin ketersediaan itu.
”Boleh saja itu dijadikan indikator-indikator atau argumen untuk kembali menerapkan PSBB yang disuarakan. Tapi apa dampak baiknya untuk mayoritas warga Jakarta. Penambahan subsidikah, ada jaminan kesehatankah. Kekuatan apa yang membuat rakyat DKI percaya dengan skema ini,” terang Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Arief Poyuono, kepada Fajar Indonesia Network (FIN), Selasa (15/8).
Arief menyarankan, PSBB dilakukan dengan kelonggaran sisi ekonomi dan kebijakan yang mengedepankan analogi. Termasuk target dan sasaran yang jelas. Pasalnya, denyut nadi pertumbuhan Jakarta tidak lepas dari arus barang, pendatang dan roda ekonomi masyarakatnya Ibu Kota itu sendiri.
”Skema pengetatan ya boleh-boleh saja. Tapi ya harus benar-benar diterapkan, dan targetnya jelas. Jangan gayanya saja PSBB. Faktanya ya masih juga longar kok. Maka, narasi yang dibangung itu harus mencerdaskan dan menenangkan masyarakan. Ini kepentingan psikologi dan iklim usaha. Sejak awal saya sudah bilang, jangan menebar ancaman,” jelas Arief lewat sambungan teleponnya.
Jakarta telah menjadi episentrum penyebaran wabah Virus Corona terbesar di Indonesia. Tak ada napas bagi tenaga kesehatan. Kondisi ini kontradiktif dengan Wuhan, Provinsi Hubei tempat lahirnya virus mematikan itu.
”Coba apa yang terjadi di Wuhan. Dalam kurun tiga bulan angkanya menurun drastis. Padahal Wuhan merupakan sumber dari segala sumber Covid. Penerapannya bukan lagi PSBB, tapi lockdown, hasilnya jelas. Sementara Jakarta, sejak awal masuknya pandemi, hingga kini, angka statistik tak pernah melorot justru membumbung tinggi. Lalu siapa yang disalahkan? Pemerintah Pusat lagi?” tandas Arief dengan nada lantang.
Selain terancam kolaps, jumlah dokter dan tenaga medis di yang mayoritas di Jakarta wafat. Total saat ini terus berkurang setelah 115 dokter meninggal hingga Selasa (15/9).
”Dan mayoritas dokter atau tim medis itu yang wafat berada di Jakarta. Sekali lagi saya menyarankan, jalankanlah kebijakan itu sungguh-sungguh. Yakinlah hasilnya akan terlihat,” tutup Arief.
Terpisah, Juru bicara Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Halik Malik menuturkan ada satu hingga dua dokter yang meninggal akibat Covid-19 dalam sebulan terakhir.
Situasi ini jelas mengakibatkan beban fasilitas kesehatan bertambah berat di tengah berkurangnya jumlah tenaga medis dan meningkatnya jumlah kasus. ”Ya jelas mas, akibatnya sebagian dokter terpaksa bekerja overload dan overtime, kelelahan di tengah minimnya perlindungan,” jelas Halik.
Indonesia sendiri merupakan negara dengan rasio dokter terendah kedua di Asia Tenggara, yakni 0,4 dokter per 1.000 penduduk berdasarkan data Bank Dunia pada 2018. Kehilangan 115 dokter sama dengan hilangnya akses 287.500 penduduk terhadap dokter.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: