Samarinda Toraja

Samarinda Toraja

Pabrik pun dibangun di Surabaya. Awalnya sulit diterima pasar. Sampai-sampai tiga temannya angkat tangan. Arief diminta mengembalikan modal mereka. Arief cari tambahan kredit jangka pendek.

Kebetulan seorang temannya di Gresik minta tolong: agar Arief mau membeli stok garamnya dengan harga murah sekali. Si teman lagi butuh uang. Garam itu akan dilepas dengan harga Rp4/kg. Arief menggunakan sebagian uang kredit untuk menolong temannya itu.

"Tiba-tiba harga garam naik menjadi Rp90/kg. Kredit jangka pendek saya langsung lunas," katanya.

Akhirnya pabrik gas industri Arief berjalan lancar. Sudah 100 persen miliknya sendiri. Pabrik yang semula 2 hektare menjadi 20 hektare. Belum lagi pabriknya yang di banyak kota di Indonesia.

Singkatnya Arief menjadi yang terbesar di Indonesia. Merk dagang gasnya "Samator'' –singkatan Samarinda-Toraja.

Saingan terberatnya saat itu adalah Aneka Gas –milik BUMN. Terutama setelah Aneka Gas dijual ke investor Jerman. Statusnya pun menjadi PMA. Samator harus bersaing dengan perusahaan asing.

Tapi Samator menang. Pun akhirnya Aneka Gas ia beli –dari pengusaha Jerman itu.

Setelah mengalahkan Jerman, Arief menghadapi pesaing asing lainnya: Praxair. Dari Amerika. Sekali lagi Samator menang. Praxair sampai mundur dari pasar.

Bukan main.

Saya pun minta Arief untuk mau podcast di Energi Disway. Ia teman baik. Tapi saya baru tahu banyak hal di saat podcast itu.

Yang saya tahu ia membangun begitu banyak Vihara. Termasuk di kampung halamannya di Toli-Toli. Ia merasa perjalanan bisnisnya begitu baik. Itu pasti berkat dari Tuhan. Makanya ia ingin mengembalikan sebagian hasilnya kepada Tuhan.

Dan akhirnya Arief menjadi ketua Persatuan Umat Budha Indonesia. Mereka yang tidak mau bergabung ke Walubi kumpul di sini. Kian lama kian eksis melebihi Walubi.

Dan ia benar: kuliah bisa belakangan.

Setelah menjadi pengusaha gas industri terbesar di Indonesia Arief baru kuliah. Ia lulus S-1 teknik mesin. Lalu lulus S2 bisnis dari Universitas Gadjah Mada. Pun masih kuliah lagi di S2 Sekolah Tinggi Agama Budha Maha Prajna Jakarta. Arief pun masih ingin meraih S-3.

Semangat belajarnya itu tidak surut justru ketika grup Samator sudah membiak menjadi 30 perusahaan. Dan ketika Arief sudah selesai membangun gedung-gedung pencakar langit: untuk apartemen dan Hotel Novotel Samator itu.

Sumber: