Jakob Oetama

Jakob Oetama

Kini Kompas memiliki gedung pencakar langit yang sangat tinggi dan sangat megah. Juga sangat baru. Saya tidak bisa lagi mengatakan gedung saya lebih bagus dari gedung Kompas –karena kini saya tidak punya gedung sama sekali.

Saya belum sempat berkunjung ke gedung baru Kompas itu. Saya berharap pak Jakob sempat merasakan kemegahannya.

Ketika akhirnya saya juga tidak mau lagi menjabat ketua umum SPS –sudah tiga periode– saya menghadap putra beliau.

"Pak Lilik, tolong ganti Anda yang menjadi ketua umum SPS," kata saya. Waktu itu saya didampingi mas Jauhar, ketua harian SPS dan mas Asmono, direktur eksekutif SPS.

Pak Lilik bergeming.

Segala jurus rayuan saya pun tidak mempan. Pak Lilik tetap tidak mau.

Saya sudah lama mendengar Pak Lilik tidak tertarik pada bisnis koran. Tapi baru hari itu saya mendengarnya sendiri. "Saya tidak paham koran. Ruwet," katanya merendah.

Untuk mengurus koran, Pak Lilik mempercayakannya kepada kader-kader profesional ayahnya. "Untuk urusan media terserah beliau saja," katanya sambil menepuk pundak orang yang duduk di sebelahnya: Rikard Bagun, wartawan senior yang juga pernah jadi pemred di Kompas.

Pak Lilik sendiri pilih terus memimpin grup Santika. Yang sekarang berkembang mencapai hampir seribu hotel. Pak Lilik terlihat asyik sekali di bisnis hotel.

Kini Pak Jakob sudah tiada. Saya tidak tahu apakah kepemimpinan di Kompas selanjutnya akan dipegang keturunan pak Jakob atau keturunan Pak Auwjong Peng Koen (P.K. Oyong, Petrus Kanisius Ojong). Yakni orang Sawahlunto yang mengajak dan memboyong Pak Jakob dari Jogja ke Jakarta. Semula untuk bersama-sama mendirikan majalah Intisari, kemudian harian Kompas.

Pak Ojong sudah lama sekali meninggal dunia, 1980. Tapi pasangan Tionghoa-Jawa, UI-UGM itulah yang telah membuat sejarah penting pers di Indonesia. Kompas –nama yang diberikan oleh Presiden Soekarno itu, benar-benar telah terbukti bisa menjadi kompas di Indonesia. Termasuk kompas saya. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: