Sentil Jokowi, Din Syamsuddin Sebut Pernyataan Presiden Hanyalah Retorika Politik Belaka

Sentil Jokowi, Din Syamsuddin Sebut Pernyataan Presiden Hanyalah Retorika Politik Belaka

Pernyataan Jokowi yang menyebut bahwa pemerintah mengutamakan kesehatan dalam penanganan Covid-19 dan dampak ekonomi yang ditimbulkan dipertanyakan Din Syamsuddin. 

Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) ini menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu tidak ada kebenarannya.

Pasalnya, pernyataan presiden, kata Din, justru sebaliknya. Ia menilai, Pemerintahan Jokowi lebih mengutamakan penyelesaian dampak ekonomi ketimbang kesehatan.

“Pernyataan Presiden Jokowi bahwa pemerintah mengutamakan penanganan masalah kesehatan daripada stimulus ekonomi hanyalah retorika politik belaka tanpa bukti nyata,” ujarnya, Selasa (8/9) dikutip dari Pojoksatu.

Faktanya, kata Din, anggaran yang dialokasikan dan disetujui untuk penanggulangan Covid-19 melalui Kemenkes dan Satgas Covid-19 kurang dari 10 persen dari total anggaran sebesar Rp900 triliun.

Yakni Rp87,5 triliun. Dari jumlah tersebut, hanya Rp25,7 triliun saja yang dialokasikan melalui Kemenkes.

“Anggaran Rp87,5 tiliun ini pun kemungkinan akan dipangkas menjadi Rp72,7 triliun. Sementara realisasinya jauh di bawah angka tersebut,” katanya.

Mantan ketua umum PP Muhammadiyah ini lantas merinci besaran anggaran penanganan Covid-19 untuk menanggulangi masalah perekonomian. 

Rinciannya, Rp120,61 triliun untuk alokasi insentif usaha dan pajak, Rp123,46 triliun untuk subsidi dan hibah UMKM sebesar.

Lalu, Rp 14 triliun untuk tambahan PMN BUMN, Rp19,7 triliun untuk investasi pemerintah, dan Rp113,6 triliun untuk pembiayaan investasi lainnya.

Akibatnya, kata Din, rakyat terpaksa menyelamatkan diri sendiri dan bersusah payah membayar biaya rapid test dan swab test untuk tahu bahwa mereka tertular corona.

“Banyak yang tidak mampu melakukannya, maka kemungkinan angka yang positif tertular jauh lebih banyak dari yang diumumkan,” tegasnya.

Belum lagi, sambung dia, siswa dan mahasiswa harus membayar mahal biaya pulsa atau kuota telepon karena mereka harus belajar daring dari rumah.

Dalam hal ini, pemerintah baru sadar dan menjanjikan bantuan setelah lima bulan pandemi berlangsung.

Sumber: