Peringatan Moore

Peringatan Moore

Sabtu petang itu kelompok fanatik kulit putih kumpul di salah satu mal di pinggiran kota Portland. Lalu bersama-sama konvoi ke pusat kota. Jumlah rombongan itu sekitar 600 mobil.

Sudah tiga minggu konvoi seperti itu dilakukan. Tiap Sabtu petang. Sebagai imbangan atas demo BLM yang tidak kunjung berakhir.

Konvoi itulah yang dihadang. Jalan-jalan dan jembatan masuk Portland dikuasai pendemo BLM. Terjadilah saling ejek. Saling lempar. Kian malam kian seru. Dan terjadilah penembakan itu. Korbannya seorang kulit putih –dengan identitas Patriot Prayer. Itulah nama salah satu kelompok ekstrim kanan –supremasi kulit putih– di Oregon.

Di Wisconsin kerusuhan juga melebar ke kota pinggiran. Antara Milwaukee dan Chicago. Satu orang luka serius, dua orang mati –kulit hitam.

Berlarutnya demo anti-rasialis itu dimanfaatkan oleh Trump. Isu itu berhasil dibalikkan menjadi wajah hitam Biden. Mereka menyuarakan bahwa pendemo, perusuh dan menjarahan itu adalah pengikut Biden.

"Kalau memilih Biden, Amerika akan terus seperti itu," ujar mereka.

Dalam kampanye politik, pemegang kebenaran belum tentu dibenarkan. Pemegang moralitas justru bisa dibuat tidak bermoral.

Misalnya Trump bisa dianggap melanggar UU karena menggunakan Gedung Putih sebagai tempat pidato penerimaan pencalonannya oleh Partai Republik. Setidaknya itu melanggar etika. Paling kurang itu menandakan kurang dijunjung tingginya moral bernegara. Tapi isu moral seperti itu ternyata tidak menggigit emosi masyarakat umum. Itu hanya dipersoalkan kalangan elite saja.

Padahal isi pidato Trump yang sampai 1,5 jam itu tidak ada bedanya dengan kampanye. Berarti Trump menggunakan Gedung Putih untuk kampanye. Berarti Trump secara tidak bermoral telah menyalahgunakan fasilitas negara.

Belum lagi di penutupan konvensi itu, Trump mengundang sampai 1.500 orang. Dengan mengabaikan protokol kesehatan. Kursinya ditata berhimpitan. Tidak wajib pula memakai masker.

Tapi semua itu hanya negatif di kalangan terbatas. Trump bisa menutupi kenegatifan itu dengan persepsi-persepsi negatif untuk Biden.

Maka fakta tidak lagi penting. Yang terpenting adalah persepsi. Dan selama empat hari konvensi Partai Republik itu Biden terus-menerus dipersepsikan dekat dengan demo, kerusuhan, penjarahan dan yang serba ketidaktertibkan.

Itu dilanjutkan lagi dengan kampanye lebih memojokkan Biden: apakah orang yang seperti itu bisa membangun ekonomi? Maka Trump muncul sebagai lebih mampu membangun ekonomi.

Biden memang sempat menangkis dengan fakta. Bahwa ketidaktertiban itu justru terjadi di zaman pemerintahan Trump. Tapi, sekali lagi, fakta tidak penting.

Yang muncul kuat adalah: kerusuhan itu dilakukan oleh orang yang anti-Trump. Tidak laku lagi logika bahwa yang anti-Trump belum tentu pro Biden.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: