Mulyono Merdeka!
Ia akhirnya memang bisa menjadi anggota MTR, tapi tidak seperti yang ia bayangkan. "Dulu, saya bayangkan asyik sekali. Dengan menjadi anggota MTR kita akan mendapat pinjaman tanpa bunga dari MTR untuk melunasi utang bank yang berbunga," ujar Mulyono. "Pokoknya yang saya bayangkan itu sangat asyik," guraunya.
Ternyata tidak begitu.
Dengan menjadi anggota MTR Mulyono hanya mendapat kesempatan pendidikan bagaimana bisa melunasi utang. Pendidikan itu berjenjang. Satu tahap perlu waktu dua hari.
"MTR menjadi kampus baru saya. Dari unlearning ke relearning," katanya. "Kami kembali belajar bisnis, manajemen, keuangan dan juga belajar kehidupan yang lebih bermakna," katanya.
Kapan-kapan saya akan menulis soal model pendidikan MTR ini. Berikut jenjangnya. Terutama bagaimana kurikulum itu bisa 'meracuni' anggotanya untuk melunasi utang.
Kebetulan mertua Mulyono itu aktivis Muhammadiyah di Sragen. Ia guru SMAN Gemolong untuk ilmu ekonomi. Gemolong adalah satu kecamatan di Sragen (40 km) tapi lebih dekat ke Solo (20 Km).
Istrinya sendiri lulusan akuntansi Universitas Muhammadiyah Solo. Awalnya sang istri ingin jadi pegawai negeri. Sang suami sebenarnya tidak ingin istrinya jadi pegawai negeri. Tapi sang istri nekat.
Pada hari pertama berangkat bekerja, sang istri berubah pikiran. Di tengah perjalanan menuju instansi tempatnya bekerja itu sang istri berhenti. Lalu balik pulang. Akhirnya dia ikut kehendak suami.
Sekarang sang istri menjadi kepala keuangan perusahaan suaminya itu. Dengan karyawan tetap 60 orang dan karyawan tidak tetap 500 orang.
Di Gemolong itu pula Mulyono kini dipercaya untuk membangun lembaga pendidikan Muhammadiyah. Di atas tanah-tanah waqaf.
Pelunasan utangnya sendiri dilakukan setelah ia mendapat pendidikan di MTR itu. Hari itu juga Mulyono pergi ke bank. Kepada petugas bank Mulyono mengatakan ingin mengakhiri utangnya. Ia akan membayar seluruh pokoknya. Tapi ia minta dibebaskan sisa bunganya.
Petugas bank, kata Mulyono, sampai marah-marah. Utang kok dilunasi. Bank sangat senang mempunyai nasabah seperti Mulyono. Pembayaran pokok dan bunganya lancar. Tidak pernah telat. Usahanya pun terus berkembang. Kok tiba-tiba tidak mau punya utang.
Tentu petugas bank tidak bisa memutuskan. Terutama soal pembebasan bunga akibat pelunasan itu.
Sambil menunggu putusan pimpinan bank, Mulyono tidak mau lagi membayar bunga. Setiap kali ditagih Mulyono tinggal mengatakan: kan sudah bilang tidak mau lagi membayar bunga.
Tentu bank mengajaknya berdialog: mengapa punya sikap begitu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: