Keuangan PLN Buruk, DPR: Utang Negara Rp48 Triliun Harus Dibayar Setiap Akhir Tahun
Kondisi keuangan PT PLN (Persero) yang memburuk harus mendapat prioritas Pemerintah. Berbagai upaya perlu dilakukan agar keuangan perusahaan setrum itu bisa kembali positif dan dapat melayani masyarakat.
Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto menilai pemerintah perlu menanganinya secara khusus. Tujuannya agar PLN tidak terus terpuruk. Salah satunya dengan cara membayar utang pemerintah kepada PLN.
"Ini untuk kompensasi dan subsidi listrik masyarakat, secara otomatis regular di akhir tahun. Tidak menumpuk hingga beberapa tahun seperti sekarang ini," ujar Mulyanto di Jakarta, Sabtu (8/8).
Dia menyarankan Pemerintah membayar kewajibannya kepada PLN secara reguler setiap akhir tahun. Seperti model pembayaran subsidi pupuk.
“Utang pemerintah sebesar Rp48 triliun ini berasal dari kompensasi PLN pada tahun 2018-2019. Selain itu, diskon listrik yang diberikan saat pandemi tersebut harus segera dibayar. Agar PLN juga dapat memenuhi kewajibannya kepada pihak lain,” lanjutnya.
Selain itu, pemerintah harus mengawasi keuangan PLN dengan lebih teliti. Karena PLN yang memiliki utang sangat besar, hingga Rp500 triliun untuk investasi di sisi pembangkit. Saat ini, PLN mengalami tekanan keuangan dari dua sisi.
“Dari sisi pemasukan, tekanan keuangan disebabkan karena permintaan listrik industri yang terus turun. Karena deindustrialisasi dini, dan semakin anjlok di saat pandemi COVID-19,” ungkapnya.
Padahal, lanjutnya, perencanaan listrik dan sebagian implementasinya sudah terlanjur dengan asumsi pertumbuhan listrik sekitar 7 persen. Maka praktis, terjadi surplus listrik. Terutama di Jawa-Bali.
“Dari sisi pengeluaran, tekanan keuangan disebabkan karena pembayaran kepada pembangkit listrik swasta. Ini sebenarnya berlebih. Namun harus tetap dibayar karena terkena penalti TOP (take or pay). TOP adalah kesanggupan PLN membeli berapapun jumlah listrik yang dihasilkan oleh pembangkit swasta untuk selanjutnya disalurkan kepada pelanggan,” imbuh Mulyanto.
Seharusnya, pembayaran TOP ini dapat direnegosiasi PLN sebagai bentuk kesetiakawanan usaha yang saling menanggung beban. “Selain itu, adalah karena pembayaran utang dan bunganya dalam bentuk USD yang sudah jatuh tempo. Pada saat harga USD tinggi seperti sekarang ini, beban keuangan untuk pembayaran utang menjadi selangit,” jelasnya.
Dia mendesak pemerintah untuk mengambil langkah-langkah yang tepat dan terus mengawasi keuangan PLN.
Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Sartono mendesak pemerintah agar mempercepat pemerataan tenaga listrik di Indonesia. Pembangunan fasilitas kelistrikan harus tetap dijalankan. Mengingat listrik sangat penting menopang kehidupan masyarakat.
“Kita sudah 75 tahun merdeka, kalau masih ada daerah 3T, daerah remote yang belum mendapatkan aliran listrik, kami akan berikan dukungan percepatan,” ujar Sartono.
Dia menyampaikan, tidak bisa dipungkiri masih ada masyarakat Indonesia yang belum dapat menikmati listrik. Padahal, listrik telah menjadi salah satu kebutuhan mendasar bagi kehidupan. Karena bisa mendukung berbagai aktivitas. Baik sosial, ekonomi, hingga pendidikan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: