PJJ Jangan Bikin Stres Siswa, DPR: Rp100 Miliar Cukup untuk Beli Kuota dan Smartphone untuk Siswa

PJJ Jangan Bikin Stres Siswa, DPR: Rp100 Miliar Cukup untuk Beli Kuota dan Smartphone untuk Siswa

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim diminta segera mengalokasikan anggaran POP (Program Organisasi Penggerak) sebesar Rp495 miliar, dan Rp100 miliar dialokasikan sebagai bantuan Pendidikan Jarak Jauh (PJJ). Dana itu digunakan untuk mensubsidi kegiatan belajar siswa di daerah selama pandemi virus Covid-19.

Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda dalam keterangannya menegaskan dana tersebut bisa digunakan untuk subsidi kuota dan membeli ponsel pintar (smartphone) bagi siswa yang kesulitan belajar jarak jauh. Menurutnya, anggaran sebesar Rp100 miliar sudah cukup bagus, apabila Mendikbud Nadiem Makarim tetap ingin melaksanakan POP.

”Dan saya minta anggaran POP yang Rp494 miliar untuk mensubsidi PJJ yang sulit luar biasa saat ini. Khususnya di daerah-daerah terpencil. Seperti jaringan internet, paket data, bahkan ada yang tak punya HP, apalagi laptop dan sebagainya. Sedangkan untuk POP kalau dilanjutkan cukup Rp 100 miliar. Masak Tanoto dan Sampoerna yang harusnya membantu malah dapat anggaran,” papar Syaiful, Senin (3/8).

Syaiful juga mengungkapkan bahwa Komisi X awalnya setuju dengan rencana penyelenggaraan POP, karena memandang program tersebut akan menjadi program peningkatan kapasitas guru, kepala sekolah, serta tenaga pendidikan kala itu.

Namun, lanjutnya, persetujuan tersebut diberikan sebelum Covid-19 mewabah di Indonesia alias untuk dilaksanakan dalam situasi normal. Dia menyarankan agar Kemendikbud membuat skema atau program yang berbeda di tengah situasi pandemi Covid-19 seperti saat ini.

”Karena POP ini awalnya di desain dalam suasana normal, jadi kemudian tiba-tiba akan dilaksanakan pada darurat pandemi Covid-19. Mau tidak mau, bahkan wajib hukumnya skemanya harus berbeda dari desain awal karena memang dilaksanakan suasana normal,” tandas politisi dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) ini.

Syaiful juga mewanti-wanti sejak awal, bahwa Komisi X telah mengingatkan agar tidak terjadi gap, kontradiktif antara gagasan dan operasional terkait siapa dan organisasi apa saja yang lolos kriteria POP tersebut.

Juga bagaimana POP itu memperlakukan organisasi seperti NU dan Muhammadiyah yang memiliki banyak lembaga pendidikan dari pendidikan dasar sampai dengan perguruan tinggi, itu tidak disamakan dengan yang tidak memiliki satuan pendidikan.

”Sayangnya tak ada jawaban dari Kemendikbud RI. Padahal, skema anggarannya full APBN. Tapi, setelah ada protes masyarakat pasca mundurnya NU, Muhammadiyah, dan PGRI, Pak Nadiem bilang ada dua skema tambahan; yaitu mandiri dan pendampingan plus APBN. Kalau jawaban skema anggarannya itu di luar APBN, karena terdesak protes dan itu salah, ya tetap salah,” imbuh Syaiful.

Ia juga minta Menkdikbud menunda POP karena sudah kehilangan legitimasi dengan tak terlibatnya NU, Muhammadiyah, PGRI dan lain-lain. Sebaiknya Kemendikbud lebih fokus pada PJJ yang sulit saat ini. Komisi X pun akan mengundang Mendikbud Nadiem untuk mengevaluasi komprehensif masalah POP tersebut.

”Kami minta apapun keputusannya soal POP itu harus mendapat persetujuan DPR RI dan diterima publik,” pungkas legislator dapil Jawa Barat VII itu.

Terpisah, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menegaskan jika surat terbuka yang mereka sampaikan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim terkait Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) mendapat banyak dukungan dari para guru dan orang tua siswa.

”Ya tentu saja ada ada pro dan kontra,” timpalnya.

Ia mengatakan dirinya mendapat dukungan dari para orang tua dan guru terkait penyampaian surat terbuka tersebut dan bahwa mereka merasa telah dibantu untuk bersuara atas masalah yang mereka hadapi terkait dengan PJJ.

Sumber: