Penduduk Miskin Bertambah Jadi 26,42 Juta Orang

Penduduk Miskin Bertambah Jadi 26,42 Juta Orang

Jumlah penduduk miskin Indonesia tahun ini bertambah akibat pandemi Covid-19. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada lima daerah yang mengalami peningkatan angka kemiskinan.

Pada Maret 2020, jumlah penduduk miskin mencapai 26,42 juta orang, naik 1,63 juta orang dibandingkan September 2019 dan naik 1,28 juta orang terhadap Maret 2019.

"Mayoritas provinsi mengalami kenaikan persentase kemiskinan. Tertinggi DKI, naik 1,11 poin. Jabar naik 1,06 poin. Jatim, Yogyakarta juga naik," ujar Kepala BPS, Suhariyanto dalam keterangannya, kemarin (25/7).

Dia menyebutkan, jumlah penduduk miskin terbanyak berada di Jawa Timur, yakni sebanyak 4,4 juta jiwa. Naik dari jumlah perhitungan September 2019 sebanyak 4 juta penduduk.

Posisi kedua, Jawa Tengah sebanyak 3,98 juta penduduk dari 3,67 juta pada September 2019, lalu Jawa Barat 3,92 juta penduduk dari 3,37 juta jiwa.

Provinsi dengan penduduk tertinggi selanjutnya adalah Sumatera Utara dengan penduduk miskin sebanyak 1,28 juta, naik dari sebelumnya 1,26 juta penduduk miskin.

Selanjutnya Nusa Tenggara Timur (NTT) yang tercatat sebanyak 1,15 juta penduduk miskin, naik dari 1,12 juta pada periode yang sama di 2019. Sementara DKI Jakarta yang disebut paling tinggi kenaikannya, pada Maret 2020 jumlah penduduk miskin tercatat sebanyak 480 ribu orang.

Terpisah, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah mengatakan, selain menggelontorkan bantuan sosial (bansos), pemerintah juga perlu menerapkan sejumlah strategi guna menahan agar warga miskin tidak semakin naik.

Dia mennyarankan, ada sejumlah srategi yang bisa dilakukan pemerintah. Pertama, menjaga inflasi bahan makan pokok, terutama beras dengan cara memastikan produksi cukup dan logistik lancar.

Kedua, pengembangan bansos non tunai, seperti bansos padat karya di daerah hijau atau yang berstatus zero kasus Covid-19. Ketiga, pencegahan penyebaran Covid-19 di daerah-daerah produksi, terutama pertanian.

"Sebab jika ada outbreak di kantong-kantong produksi maka akan menimbulkan kelangkaan barang/bahan makanan yang bisa mengarah pada inflasi dan pada akhirnya menggerus pendapatan masyarakat di tengah keterbatasan sumber pendapatan akibat ekonomi lesu," pungkasnya. (din/zul/fin)

Sumber: