Tak Cukup Dicopot, Komisi III Minta Brigjen Prasetyo Dijebloskan ke Penjara

Tak Cukup Dicopot, Komisi III Minta Brigjen Prasetyo Dijebloskan ke Penjara

Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Korwas) PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetyo Utomo sudah terbukti bersalah karena mengeluarkan surat jalan untuk Djoko Tjandra atas inisiatif sendiri tanpa seizin pimpinan.

Namun, sanksi atas perannya dalam memberi
surat jalan bagi buronan Kejaksaan Agung tersebut, menurut Anggota Komisi III DPR RI Benny Kabur Harman tidak cukup hanya pencopotan saja.
 
Dikutip dari Pojoksatu, jika benar surat itu diteken atas inisiatif sendiri, maka harus ada sanksi pidana.

“Jika benar surat jalan Djoko Tjandra dibuat sendiri oleh Karo Korwas Bareskrim, dia harus segera diberhentikan, dijebloskan ke penjara,” ujar Benny Harman di akun Twitter pribadinya, Rabu (15/7).

Selain sanksi bagi Brigjen Prasetyo, Benny juga meminta dilakukan investigasi terkait pihak-pihak lain yang mungkin menjadi pembisik Prasetyo.

“Diperiksa siapa saja jenderal-jenderal dan pihak-pihak yang terlibat. Mereka harus diberi hukuman seberat-beratnya. Rakyat monitor!” tegasnya.

Kapolri Jenderal Idham Azis melalui Surat Telegram Kapolri bernomor ST/1980/VII/KEP./2020, Tgl 15-07-2020 mencopot Brigjen Prasetyo Utomo.

IPW bahkan mendesak agar kasus ini diperiksa lebih jauh karena menciderai institusi polri di mata publik. Bukan hanya itu, keterlibatan pihak lain juga mesti diungkap karena diduga ada pengaruh lebih besar sehingga surat jalan itu bisa keluar.

“Siapa yang memerintahkan Brigjen Prasetyo Utomo untuk memberikan surat jalan itu. Apakah ada sebuah persekongkolan jahat untuk melindungi Joko Chandra,” ungkapnya.

Djoko Tjandra merupakan buronan Kejaksaan Agung dalam kasus korupsi bank Bali.

Djoko Tjandra menjadi buron Kejaksaan Agung sejak 2009. Saat itu, melalui putusan tahap peninjauan kembali, Mahkamah Agung menyatakan Djoko bersalah dalam korupsi pengalihan hak tagih Bank Bali.

Ia pun dijatuhi hukuman penjara dua tahun. Uangnya di Bank Bali sebesar Rp546 miliar yang menjadi rampasan negara, diterima perusahaan Djoko, yaitu PT Era Giat Prima dari Bank Indonesia dan Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

Djoko melarikan diri dan tidak pernah menjalankan hukuman itu. Sejak saat itu ia masuk DPO Kejaksaan Agung. (sta/pojoksatu/ima)

Sumber: