Jokowi Siapkan Hukuman bagi Masyarakat yang Langgar Protokol Kesehatan Covid-19

Jokowi Siapkan Hukuman bagi Masyarakat yang Langgar Protokol Kesehatan Covid-19

Sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan untuk mencegah peningkatan kasus COVID-19 sedang disiapkan pemerintah. Hal itu diterapkan karena banyak warga yang dinilai tidak disiplin.

Hukumannya mulai denda, kerja sosial, sampai tindak pidana ringan (tipiring). "Yang kita siapkan bukan pembatasan wilayah. Tetapi akan ada sanksi. Karena yang kita hadapi sekarang ini protokol kesehatan yang tidak dilakukan secara disiplin oleh masyarakat. Misalnya di sebuah provinsi. Saat disurvei hanya 30 persen yang pakai masker. Yang 70 persen nggak pakai. Kalau begini, bagaimana tingkat positifnya nggak tinggi. Yang kita siapkan regulasi untuk memberikan sanksi. Baik dalam bentuk denda, kerja sosial atau tindak pidana ringan," kata Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka Jakarta, Senin (13/7) kemarin.

Namun pembahasan mengenai landasan hukum pelanggar protokol kesehatan masih dalam pembahasan. "Kalau diberikan sanksi semua akan berbeda," imbuhnya.

Dia mengaku terkejut saat mendapat laporan dari Gugus Tugas pada 19 Juni lalu. Terdapat rekor baru yakni 2.657 kasus. Namun berasal dari satu klaster. Yakni di Sekolah Calon Perwira (Secapa) TNI AD Jawa Barat.

"Memang faktanya saat saya ke Palangkaraya. Angka yang saya terima tinggi sekali. Saya kaget juga. Setelah rapat saya dikasih tahu ternyata 1.200-an dari klaster di Secapa. Tetapi apapun angka di atas 1,000 itu kita harus bekerja lebih keras lagi," papar mantan Gubernur DKI Jakarta ini.

Menurutnya, jumlah kasus COVID-19 di Indonesia memang belum membaik. Tetapi tidak terlalu buruk. "Intinya kita harus pakai masker. Kita tidak bisa menebak arah bergerak virus seperti apa. Yang penting seluruh rakyat mengikuti disiplin protokol kesehatan yang ketat, hindari kerumunan, jaga jarak, dan selalu pakai masker," pungkasnya.

Sementara itu, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Doni Monardo menyebut masih ada sejumlah pihak yang menganggapnya COVID-19 sebagai konspirasi.

"Padahal kita semua sudah tahu bahwa korban jiwa di tanah air sudah melampaui angka 3.500. Bahkan di dunia sudah melampaui angka 550 ribu jiwa. Jadi ini fakta, bukan konspirasi. Semua pihak harus betul-betul memahami ini. Mohon maaf ibaratnya adalah malaikat pencabut nyawa bagi mereka yang rentan," tegas Doni di Istana kepresidenan Jakarta, Senin (13/7).

Untuk menekan penambahan kasus positif tersebut, harus ada sosialisasi yang efektif, masif dan melibatkan seluruh komponen dengan kearifan lokal. Senada dengan Doni, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan edukasi yang lebih intensif adalah menggunakan bahasa dan simbol-simbol lokal.

"Agar mudah ditangkap dan dipahami masyarakat. Karena itu keterlibatan para ilmuwan terutama ilmuwan sosial seperti antropolog dan sosiolog dan pakar kependudukan juga perguruan tinggi harus terlibat. Termasuk pemuka agama," ujar Muhadjir.

Saat ini sudah ada lebih dari 215 negara yang mengonfirmasi kasus positif COVID-19. "Soal new normal, setahu saya sudah dipertegas. Sekarang tidak menggunakan new normal. Sekarang istilahnya adaptasi dengan keadaan yang baru. Kita tidak perlu ribut dengan istilah," tukasnya.

Menurut Muhadjir, Komisi VIII DPR berinisiatif merevisi UU No 24 tahun 2007 seiring dengan perkembangan yang ada. "Terutama karena kita sudah alami bencana wabah non-alam ini. Nanti ada istilah khusus dengan UU yang baku. Jadi istilah new normal , lockdown itu memang tidak sesuai UU. Sehingga kalau digunakan harus berhati-hati. Termasuk juga istilah adaptasi baru itu juga tidak dalam UU," ucap Muhadjir. (rh/zul/fin)

Sumber: