KPK Semakin Tak Profesional, OTT kok Gagal Jadi Ngomong Tak Ada Penyelenggara Negara

KPK Semakin Tak Profesional, OTT kok Gagal Jadi Ngomong Tak Ada Penyelenggara Negara

Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) makin buruk. Terlebih dengan tidak dilanjutkannya dugaan suap pejabat Universitas Negeri Jakarta (UNJ) terhadap penjabat di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) oleh Polda Metro Jaya.

Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Bonyamin Saiman menilai kinerja KPK dalam kasus ini terlihat tidak profesional. Menurutnya, penanganan kasus dugaan korupsi di UNJ sudah keliru sejak awal. Operasi tangkap tangan oleh penyidik KPK, gagal. Namun, untuk menutupi kegagalan, KPK melimpahkan ke Polda Metro Jaya.

"Karena KPK enggak mau malu, sekelas KPK melakukan OTT kok gagal, jadi ngomong tidak ada penyelenggara negara," ujarnya.

Dikatakan Bonyamin, sejak awal KPK sudah mengetahui peristiwa di UNJ hanya merupakan saweran untuk tunjangan hari raya pegawai di Kemendikbud. Sehingga tak ada unsur paksaan seperti pungli atau suap.

"Karena kalau OTT harusnya sudah terjadi perbuatan. Tapi karena mau gagah-gagahan, buatlah OTT. Kemudian, kasus ini diserahkan ke polisi, sehingga semakin salah," katanya.

Penangkapan di UNJ ini harusnya diakui KPK sebagai kegagalan operasi. Jika mau memberi sanksi, Rektor UNJ bisa diturunkan dari jabatannya. Sebab, penyelenggara negara memang tidak dibolehkan memberikan saweran, parsel atau THR.

"Kalau seperti itu kan pas, lebih enak. Jangan malah diserahkan kasusnya ke polisi,” katanya.

Karenanya, Boyamin menilai ini sebagai sebuah kelucuan KPK. "Kelucuan yang dibikin KPK di periode ini," ujarnya.

Berbeda dengan yang diungkapkan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana. Dia justru mempertanyak penghentian kasus tersebut.

"Dalih Kepolisian untuk menghentikan penyelidikan kasus ini pun berbanding terbalik dengan alasan KPK. Satu sisi Kepolisian mengatakan perbuatan tidak memenuhi unsur tindak pidana korupsi, sedangkan KPK menggunakan alasan tidak adanya keterlibatan oknum penyelenggara negara," katanya.

Padahal, ICW sejak awal meyakini kasus tersebut telah memenuhi seluruh unsur dalam ketentuan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni perbuatan berupa pemerasan dan suap yang dilakukan oleh penyelenggara negara.

"Bahkan, tidak menutup kemungkinan pemberian uang kepada pegawai Kemendikbud tersebut memiliki motif tertentu, bukan sebatas pemberian THR semata sebagaimana disampaikan KPK," tuturnya.

Dikatakannya, berdasarkan rilis yang disampaikan Deputi Penindakan KPK Karyoto, sebenarnya sudah terang benderang menyebutkan Rektor UNJ Komarudin mempunyai inisiatif melalui Kepala Bagian Kepegawaian UNJ. dia berinisiatif mengumpulkan uang THR kepada Dekan Fakultas dan lembaga di UNJ agar nantinya bisa diserahkan ke pegawai Kemendikbud.

"Pada bagian ini saja setidaknya sudah ada dua dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi, yakni praktik pemerasan dan suap," ungkapnya.

Sumber: