Kasus Covid-19 di Indonesia Tertinggi se Asia Tenggara, Ujungnya Rakyat yang Jadi Korban

Kasus Covid-19 di Indonesia Tertinggi se Asia Tenggara, Ujungnya Rakyat yang Jadi Korban

Penambahan jumlah pasien yang positif terinfeksi covid-19 yang rata-arat dia atas 1.000 kasus sepekan terakhir, membuat Indonesia sebagai negara tertinggi kasus Covid-19 di Asia Tenggara. Sejumlah pihak menengarai, kondisi ini akibat pemerintahan Joko Widodo sejak awal menyepelekan virus asal Wuhan, China tersebut.

Hingga, Minggu (21/6), total kasus di Indonesia mencapai 45.891 pasien positif virus corona. 521 pasien di anataranya dinyatakan sembuh, sehingga jumlah pasien yang sembuh tercatat 18.404 orang.

Sedangkan pasien meninggal dunia bertambah sebanyak 36 korban, sehingga total menjadi 2.465 kasus kematian. Sementara jika diakumulasikan sebanyak 25.022 pasien masih menjalani perawatan.

Menurut pandangan analis politik Universitas Islam Indonesia (UII), Geradi Yudhistira, instrumen negara lemah dalam melakukan pencegahan, baik bersifat pengobatan maupun pencegahan Covid-19 yang bersifat kebijakan publik.

"Pemerintah tampak kebingungan di antara ekonomi atau medis. Kebingungan itu terefleksikan melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan setengah-setengah, tidak ada ketegasan. Ke ekonomi tidak tegas, ke kesehatan juga tidak tegas," ucap Geradi Yudhistira kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (21/6) kemarin.

Berada dalam posisi kebingungan, pemerintah kemudian memutuskan lebih mengutamakan pemulihan sektor ekonomi dalam bentuk new normal meskipun kasus Covid-19 di Indonesia terus meningkat.

"Ketika ekonomi global distarter karena memang mesinnya sudah dingin, pemerintah ngegas lagi tapi di sisi lain malah makin panas. Itu mungkin perumpamaan yang bisa diberikan gitu ya," sambung Geradi.

Selain itu, di saat negara lain melakukan lockdown saat ditemukan kasus Covid-19, Indonesia masih dengan santai dan banyak alasan untuk tidak menerapkan kebijakan tersebut. Pemerintah lebih memilih mengambil kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dinilai tidak efektif.

"Di situlah akhirnya titik lemah kebijakan pemerintah yang tidak bisa kita ubah lagi ke belakang, sehingga yang terjadi sekarang adalah buntut daripada apa yang sudah dikerjakan di belakang selama 2-3 bulan ke belakang," terang Geradi.

"Saya pikir itu sudah hal yang mengecewakan. Kita cuma bisa was-was, kita hanya menjadi korban dari kebijakan pemerintah yang selama ini tidak pernah fokus ke dalam satu hal," pungkas Geradi. (rmol/zul)

Sumber: