Otopsi Korban Covid-19 Perlu, tapi untuk Kepentingan Ilmiah
Vaksin virus Corona (COVID-19) diprediksi tidak akan bisa ditemukan dalam waktu singkat. Protokol kesehatan dinilai paling efektif mencegah penularan yang dipraktikkan di seluruh dunia. Selain itu, otopsi terhadap korban juga tidak diperlukan di Indonesia.
"Kita tidak bisa menunggu sampai virus ini hilang atau vaksin ditemukan. Yang paling ideal saat ini adalah menjalankan protokol kesehatan. Ini paling efektif untuk mencegah penularan," kata Ketua Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) Profesor Pratiwi Sudarmono di Jakarta, Selasa (2/6).
Vaksin pertama kali ditemukan pada abad ke-18. Yakni vaksin cacar. Meskipun sudah ditemukan sejak lama, permasalahan cacar baru selesai sekitar 100 tahun kemudian. Saat ini, telah tercipta kekebalan kawanan atau herd imunity terhadap virus penyebab cacar air.
"Itu pun kekebalan kawanan terbentuk melalui vaksin yang diimunisasikan ke tubuh manusia. Saat ini mungkin ada 100 pihak yang berupaya membuat vaksin. Ada sekitar 11 atau 12 yang sudah melakukan uji klinis. Namun, baru dari aspek keamanan dan mencari dosis," tuturnya.
Vaksin yang sedang diuji klinis tersebut akan dicoba disuntikkan ke hewan untuk melihat apakah di dalam tubuh hewan itu akan terbentuk antibodi. "Kalau tidak terbentuk antibodi, pengembangan vaksin harus kembali ke awal lagi. Perlu waktu cukup lama, mungkin setahun atau dua tahun," jelasnya.
Dia membandingkan dirinya yang selama ini berkutat pada vaksin demam berdarah. Menurutnya, dia sudah menghabiskan separuh hidupnya untuk meneliti vaksin untuk demam berdarah. "Sampai saat ini juga masih sulit. Apalagi COVID-19 adalah virus jenis RNA yang bisa berubah secara cepat," paparnya
Pratiwi mengatakan ketakutan masyarakat Indonesia terhadap kemungkinan gelombang kedua COVID-19 tidak diikuti dengan perilaku mencegah penularan penyakit tersebut. "Masyarakat takut. Tetapi mereka leluasa pergi ke sana kemari tanpa masker. Berkerumun dan lain-lain," kata tukasnya.
Gelombang kedua pandemi COVID-19 bisa terjadi karena ada pergerakan manusia yang luar biasa. Apalagi, setelah Idul Fitri, tetap ada kegiatan arus mudik dan balik. Begitu pula dengan tenaga kerja Indonesia yang kembali dari luar negeri.
Padahal, COVID-19 adalah jenis virus RNA yang dari waktu ke waktu melakukan perubahan alias bermutasi dan berkembang menjadi semakin banyak.
"Ketika tidak ada pembatasan dan orang tidak takut untuk keluar rumah, dengan sendirinya kemungkinan tertular menjadi tinggi. Misalnya, saya pernah terpapar dan positif. Kemudian sembuh. Lalu dua minggu lagi positif kembali. Kalau virusnya sama, berarti terjadi reaktivasi. Kalau berbeda berarti terjadi reinfeksi," tukasnya.
Seseorang yang pernah terpapar COVID-19, lanjutya, secara otomatis di dalam tubuhnya akan terbentuk kekebalan. Namun, meski sudah terbentuk kekebalan, di kemudian hari bisa saja terpapar kembali.
Terpisah, Ahli Virologi Universitas Udayana Profesor G N Mahardika menjelaskan tanpa otopsi diagnosis persumtive infeksi COVID-19 berat dapat dilakukan dengan rontgen atau CT scan. Ia mengatakan laporan dari berbagai penjuru dunia yang dipublikasi di jurnal ilmiah, tidak ada yang menyebut isolasi bakteri. Jika benar bakteri yang menyebabkan COVID-19, mestinya jauh lebih mudah dideteksi.
Sementara itu, soal kasus flu burung berhasil digagalkan menjadi pandemi yang disebut mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, lanjutnya, karena memang virus tersebut tidak menginfeksi dari manusia ke manusia. Selain itu, vaksin flu burung dikembangkan swasta nasional dinilai efektif. Sedangkan virus Corona memang tidak diragukan bisa menular antara manusia ke manusia.
"Ada komorbiditas. Tetapi causa mortis yang membuat pasien positif COVID-19 meninggal yang perlu dilihat. Kalau causa mortis seseorang meninggal disertai gejala sesak nafas tentu bukan diabetes," ikar Mahardika.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: