RADAR TEGAL - Sepeninggal Raja Sanjaya, tahta Kerajaan Medang beralih ke Rakai Panangkaran, yang membangun banyak candi Buddha megah. Salah satunya adalah Situs Ratu Boko, yang sering dikira sebagai keraton milik Ratu Boko, ayah Roro Jonggrang.
Kompleks peribadatan itu awalnya dibangun Rakai Panangkaran di perbukitan Boko untuk tempatnya menyepi selepas turun dari tahta Medang. Namun, tragedi geger Walaing menyebabkan fungsi Situs Ratu Boko berubah menjadi benteng.
BACA JUGA:3 Mitos Candi Sukuh, Konon sebagai Ruwatan Majapahit Pasca Perang Paregreg
Pasca turunnya Sri Maharaja Rakai Pikatan, Mpu Kumbhayoni menggempur istana Medang untuk merebut tahta, tetapi berhasil didesak ke perbukitan Boko oleh Dyah Lokapala. Di sanalah, ia merebut Situs Ratu Boko dan memodifikasinya.
Pada kesempatan kali ini, radartegal.disway.id akan mengajak Anda untuk mengenal salah satu situs bersejarah yang terkenal di Indonesia, tepatnya di tanah Jawa. Melansir dari kanal youtube ASISI Channel berikut informasi mengenai 2 wujud asli dari mitos Situs Ratu Boko.
BACA JUGA:3 Bangunan Suci di Gunung Sindoro, Bukti Wilayah Perdikan Jawa Kuno
2 Wujud asli dari mitos Situs Ratu Boko
1. Tempat peribadatan dan pertapaan
Nama asli situs ini adalah Abhayagiri Wihara, berdasar Prasasti Abhayagiri Wihara (792 M) yang dikeluarkan Rakai Panangkaran, raja kedua Medang. Uniknya, nama tersebut juga ada di Srilanka, sebagai nama pusat keagamaan Buddha.
Kompleks wiharanya luas dan dihuni ribuan biksu, serta berorientasi pada satu stupa megah di perbukitan Abhayagiri, yang artinya 'gunung yang menentramkan'. Dari sinilah, guru-guru agama Buddha Mahayana diutus ke luar Srilanka.
Sejarawan De Casparis, yang pernah meneliti prasasti Abhayagiri Wihara di Ratu Boko, memberitakan adanya relasi antara Jawa dan Srilanka.
Bisa jadi, Rakai Panangkaran mengundang banyak guru agama Buddha dari Srilanka, serta membangun duplikat Abhayagiri Wihara di tanah Jawa.
BACA JUGA:3 Mitos Goa Selomangleng, Konon Tempat Pertapaan Sekaligus Pemakaman Terbuka
Kitab ajaran Buddha tertua di Jawa Kuno, yakni Sang Hyang Kamahayanikan dari abad 10, sempat mengurai berbagai bentuk sarana peribadatan, mulai dari pegunungan, hutan, gua, wihara, pertapaan, hingga rumah-rumah tinggal.
Semua itu harus dilengkapi penyimpanan api suci, tempat persembahan, altar arca, berbagai balai, tempat pertemuan, hingga tempat tinggal yang nyaman.