Menelusuri Jejak Mitos Jawa tentang Gerhana Matahari dan Gerhana Bulan

Kamis 03-08-2023,22:09 WIB
Reporter : Anjarrizqi Tazkiyah Nugrahaini
Editor : Anjarrizqi Tazkiyah Nugrahaini

RADAR TEGAL   –     Mitos Jawa tentang gerhana matahari dan gerhana bulan adalah salah satu bentuk kepercayaan kuno yang telah mewarnai budaya peradaban masyarakat Jawa di Indonesia.

Dalam kepercayaan tradisional mereka, mitos Jawa tentang gerhana matahari dan gerhana bulan menjadi momen penting yang dianggap memiliki makna spiritual dan kosmologi yang mendalam.

Mitos Jawa tentang gerhana matahari dan gerhana bulan ini mencerminkan kedalaman pandangan spiritual dan keajaiban alam dalam kehidupan masyarakat Jawa.

Berikut adalah informasi mengenai mitos Jawa tentang gerhana matahari dan gerhana bulan yang dilansir dari kanal YouTube Pegawai Jalanan oleh Radar Tegal.  

BACA JUGA:8 Mitos di Jawa tentang Pemakaman Bikin Merinding, Nomer 4 Terkait Perawan

Mitos Jawa tentang gerhana matahari dan bulan yang melegenda

Dalam cerita Batara Kala atau Murwakala, versi yang lain mengisahkan tentang sebab terjadinya gerhana matahari ataupun gerhana bulan.

Yakni ketika matahari atau bulan ditelan oleh Batara Kala sehingga dunia menjadi gelap gulita untuk sesaat atau ketika terjadi gerhana.

Masyarakat Jawa pada masa itu menganggap dongeng tentang gerhana ini sebagai kebenaran dan mengadakan upacara untuk melindungi diri dari Batara Kala yang menelan matahari atau bulan.

Tujuannya adalah agar manusia selamat dari pengaruh gerhana matahari atau bulan.

Perjuangan dewa dan raksasa untuk memperoleh Tirta Amerta

Kisah tentang gerhana matahari dan bulan berasal dari Kitab Adiparwa atau "dahulu kala".

Dunia sebelum dihuni oleh manusia, dihuni oleh golongan Dewa dan golongan raksasa yang mencari Tirta Amerta atau air kehidupan untuk hidup abadi.

Tirta Amerta terdapat dalam lautan susu dan untuk mengeluarkannya diperlukan alat gergaji berwujud naga atau ular besar.

Dewa dan raksasa bekerjasama dengan para Dewa memegang ekor naga dan raksasa memegang kepala naga untuk mencari air kehidupan tersebut.

Penyelamatan Tirta Amerta dan peran Dewa Surya serta Dewi Candra

Ketika mencoba mengeluarkan air kehidupan, Sang Naga marah dan menggeram keras, membuat para raksasa terlantar. Namun, golongan Dewa akhirnya berhasil memperoleh Tirta Amerta dan menyimpannya.

Tugas menjaga Tirta Amerta kemudian diberikan pada Dewa Surya (matahari) dan Dewi Candra (bulan), yang bergantian menjaga antara siang dan malam.

Usaha Kala Rahu untuk mencuri Tirta Amerta dan akibatnya

Raksasa Kala Rahu berhasil mencuri Tirta Amerta, tetapi sebelum ia sempat menelannya, para Dewata mengetahuinya. Dewa Wisnu memanah Kala Rahu, memisahkan kepalanya dari tubuhnya.

Tubuh Kala Rahu berubah menjadi lesung, sedangkan kepalanya masih hidup dan melayang di angkasa.

Tirta Amerta dapat diselamatkan dan kembali menjadi milik para dewa. Namun, dendam Kala Rahu menyebabkan ia menelan matahari atau bulan setiap kali bertemu, menyebabkan terjadinya gerhana matahari atau gerhana bulan.

Meskipun Kala Rahu tidak memiliki tubuh lagi, ketika ia menelan matahari atau bulan, keduanya akan keluar kembali melalui lehernya yang tanpa tubuh.

BACA JUGA:Mitos Seputar Ibu Hamil: Fakta Ilmiah di Balik Kepercayaan Budaya Jawa

Mitos tentang gerhana matahari dan bulan dalam budaya Jawa

Masyarakat Jawa tradisional percaya bahwa satu-satunya cara untuk mempercepat keluarnya matahari atau bulan yang ditelan oleh Kala Rahu adalah dengan memukul-mukul tubuh Kala Rahu yang telah berubah menjadi lesung.

Oleh sebab itu, para wanita yang biasanya akan memukul keras lesung dengan alu atau alat penumbuk padi agar Kala Rahu tidak menelan matahari atau bulan.

Hal tersebut bertujuan untuk membuat Kala Rah kesakitan dan segera melepaskan matahari atau bulan yang ditelan.

Upaya pengamanan masyarakat Jawa saat terjadi gerhana

Dalam menghadapi gerhana, Ibu-ibu hamil mengolesi pusar mereka dengan abu dapur untuk melindungi kandungannya dari pengaruh negatif gerhana.

Selain itu, telur-telur yang sedang dierami oleh induk unggas juga diolesi abu dapur agar tidak rusak dan dapat menetas serta terhindar dari pengaruh negatif gerhana.

Para petani kelapa juga mengambil tindakan saat terjadi gerhana dengan memukuli pohon kelapa mereka.

Mereka berharap isi buah kelapa muda dapat menjadi kopyor atau kelapa puan, karena harga kelapa puan lebih mahal daripada kelapa biasa.

BACA JUGA:5 Mitos Jawa yang Masih Dipercaya sampai Sekarang, Terakhir Paling Serem

Makna simbolis dan mitos dalam praktik masyarakat Jawa terhadap gerhana

Perilaku masyarakat Jawa dalam menghadapi gerhana bertujuan mengantisipasi pengaruh gravitasi magnet bumi terhadap pertumbuhan tumbuhan.

Tindakan seperti mengolesi abu dapur pada wanita hamil dan telur yang sedang dierami induknya digunakan sebagai simbol pengganti panas matahari, untuk melindungi telur atau janin dari kerusakan atau keguguran. Semua tindakan ini diambil untuk mencapai ketentraman hidup.

Mitos Jawa tentang gerhana matahari dan gerhana bulan terus hidup sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas budaya, menghubungkan masyarakat masa lalu dengan tradisi spiritual dalam era modern yang semakin maju. Kekayaan warisan ini mengajarkan nilai-nilai kearifan lokal yang masih relevan hingga saat ini. ***

Kategori :