RADAR TEGAL - Masa penjajahan Belanda di Indonesia, meninggalkan sejarah kelam di berbagai daerah. Salah satunya mitos Gili Tugel di Tegal.
Konon pertigaan antara Jl. AR Hakim, Jl. Jenderal Soedirman, dan Jl. Pangeran Diponegoro di Kota Tegal itu, menjadi saksi bisu pembantaian ribuan warga. Mereka merupakan pekerja rodi.
Memang ada dua versi mitos Gili Tugel di Tegal, yang secara turun temurun diwariskan dari generasi ke generasi. versi keduanya adalan kejadian saat Amangkurat II memimpin Mataram.
Dia memerintahkan Adipati Martopuro untuk memaksa Adipati Martoloyo, pemimpin Tegal saat itu, menghadapnya dalam keadaan hidup atau mati. Dia marah karena Adipati Martoloyo berani menentangnya.
Siasat licik Belanda hasut Amangkurat II
Amangkurat II memerintahkan Adipati Martopuro yang dianggap memiliki ilmu sepadan dengan adipati Tegal itu. Karena Adipati Martopuro adalah adik seperguruan Adipati Martoloyo
Nah, saat berhadapan dengan Adipati Martoloyo, ternyata Adipati Martopuro tidak sampai hati menyatakan maksud tujuannya. Meski begitu, Adipati Martoloyo tahu apa yang menjadi tujuan adik seperguruannya itu.
Adipati Martoloyo pun memberi penjelasan dan nasehat, tetapi tidak tercapai kata sepakat dan berujung menjadi perang tanding. Adipati Martoloyo tetap berpegang teguh pada idealismenya, untuk tidak mau memihak kepada penjajah Belanda atau VOC.
Sedangkan Adipati Martopuro bersikeras menjunjung pengabdian dan kesetiaannya pada rajanya, Amangkurat II. Pertarungan antar saudara perguruan itupun tidak terelakkan, bukan karena dendam atau permusuhan tetapi menunjukkan jiwa dan etika ksatria.
Sebagai adik, Adipati Martopuro bahkan meminta izin untuk menyerang Adipati Martoloyo terlebih dahulu. Tragisnya tidak ada pemenang dalam pertempuran di pusat Kota Tegal yang kini dikenal sebagai Gili Tugel.
Adipati Martoloyo dan Adipati Martopuro pun sama-sama gugur membela prinsipnya masing-masing, dengan saling tikam menggunakan pusaka keris sakti miliknya.
Mitos Gili Tugel saksi kekejaman kolonialisme
Versi kedua mitos Gili Tugel di Tegal berawal saat Gubernur Jenderal Bekanda, Mr. Herman William Daendels membuat jalan dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Jawa Timur). Jalan sepanjang 1.000 km yang sebenarnya merupakan jalan pos dibuat pada tahun 1809–1810.
Tujuan pembuatan jalan yang kemudian dikenal sebagai jalur daendels itu adalah untuk mempercepat penerimaan surat-surat, yang dikirim antar Anyer sampai Panarukan. Dalam perkembangannya, j alan-jalan itu berubah fungsi mejadi jalan ekonomi.
Jalan itu dapat memotong waktu tempuh antara Surabaya-Batavia yang sebelumnya 40 hari, menjadi hanya 7 hari. Ini sangat bermanfaat bagi pengiriman surat, oleh Daendels kemudian dikelola dalam dinas pos.