Tidak ada yang mau mengalah. Sehingga, pertempuran pun tidak bisa dihindari. Mereka berdua tewas sampyuh.
Adipati Maryoloyo tewas tertikam keris milik Adipati Martopuro, dan begitu juga sebaliknya. Adipati Martopuro tewas tertikam keris milik Adipati Martoloyo.
Setelah itu, kabar kematian keduanya terdengar di telinga Gendowor, juru kuda Adipati Martoloyo yang setia.
Gendowor pun diselimuti kesedihan dan amarah yang besar. Ia bersumpah untuk membunuh setiap koloni Belanda yang ia lihat.
Sumpahnya benar-benar ia lakukan. Di pertigaan Gili Tugel, ia menebas kepala dari setiap koloni Belanda yang lewat.
Oleh karena itulah, Gili Tugel berasal dari kata Gulu Tugel yang artinya leher yang terputus.
Pertempuran antara Daendels dan Raden Mas Panji
Versi kedua berkaitan dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan Raden Mas Panji.
Gubernur tersebut bernama Daendels. Adapun Raden Mas Panji merupakan Bupati Tegal saat itu.
Pada masa itu, Daendels berencana untuk membangun Jalan Anyer sampai Panarukan Banyuwangi. Dalam proses pembangunan itu, Raden Mas Panji marah.
Pertama, Daendels mengarahkan pembuatan jalan menuju ke pendopo dan pringgitan. Daerah tersebut adalah yang sekarang menjadi rumah dinas Walikota Tegal.
Diketahui bahwa pendopo dan pringgitan merupakan wilayah privasi kekuasaan elit Jawa. Kedua, Raden Mas Panji marah karena para pekerja Daendels ini tidak dibayar.
Di samping itu, Daendels juga marah kepada Raden Mas Panji karena tidak menyiapkan pekerja untuk membantu membangun proyek jalan miliknya.
Maka, yang selanjutnya terjadi malah sebuah peperangan. Saat itu, Ki Ronggo sebagai patih Raden Mas Panji pun ikut membantu.
Hasilnya, Belanda kalah. Akhirnya, jalan tersebut tidak jadi mengarah ke pendopo dan pringgitan, melainkan ke arah utara yang sekarang bernama Jalan Diponegoro.