RADAR TEGAL – Tidak hanya terkenal dengan logat bahasanya yang khas, Tegal juga memiliki berbagai tokoh bersejarah yang memberikan peninggalan besar untuk Indonesia.
Salah satu tokoh dari Tegal ialah Tan Hong Boen, seorang penulis kenamaan Indonesia yang aktif memberikan gagasan intelektualnya dari masa Hindia Belanda sampai era orde baru.
Namun sayangnya, nama Tan Hong Boen semakin lama terus terlupakan dari ingatan orang Indonesia. Padahal jasanya dalam pergerakan literasi dan sastra di Indonesia sangat besar.
Latar belakang sang penulis seribu wajah
Tan Hang Boen merupakan pria misterius berdarah Tionghoa Jawa yang memiliki banyak nama pena. Ia menjadi penulis yang pertama kali membuat biografi presiden Soekarno.
Buku tersebut berjudul Soekarno Sebagi Manoesia yang diterbitkan tahun 1933 oleh Boekhandel “Ravenna” di Solo dengan nama pena Im Yang Tjoe.
Karya tersebut sangat penting bagi sejarah dan sastra Indonesia sebab menjadi biografi pertama Soekarno sebelum kelahiran Indonesia.
Dilahirkan di Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah pada 27 Februari 1905, Tan Hang Boen berasal dari keluarga kaya raya. Ayahnya merupakan pemilik perkebunan teh.
BACA JUGA:Di Tegal Ada Brapa Pabrik Teh? Begini Sejarahnya Tegal Sebagai Produsen Teh Terbesar di Indonesia
Tan Hang Boen tidak memiliki catatan sekolah formal, tetapi ia diperkirakan pernah masuk sekolah Eropa beberapa tahun. Hal itu membuat penulis ini piawai beberapa bahasa seperti Melayu, Jawa, Mandarin, Belanda, dan Inggris.
Meskipun ia peranakan Tionghoa, Boen sangat mencintai budaya Jawa dan menggeluti berbagai hal klenik Jawa. Ia bahkan pernah melakukan perjalanan Jawa-Bali menggunakan sepeda untuk mencari isnpirasi tulisan.
Nama pena yang digunakan bukan hanya Im Yang Tjoe, tetapi ada nama lain milik Tan Hang Boen seperti: Ki Hadjar Sukowijono, Ki Hadjar Dharmopralojo, bahkan nama Madame d’Eden Lovely.
Meskipun begitu, nama pena favoritnya adalah Im Yang Tjoe karena digunakan paling lama sejak 1925-1950-an. Dari sinilah julukan penulis seribu wajah untuk Tan Hang Boen muncul.
BACA JUGA:Mengenal Sejarah Brug Abang Tegal, Jembatan yang Menjadi Saksi Bisu Peristiwa Kelam 3 Daerah
Peninggalan karyanya
Sebenarnya Tan Hong Boen bukan sekadar penulis biasa, ia juga seorang jurnalis dan penerjemah aktif di tahun 1920 sampai 1950-an.
Novel pertamanya lahir di tahun 1925 berjudul Seopardi dan Soendari yang diterbitkan oleh majalah Penghidoepan di Surabaya. Pada karya ini Tan Hang Boen pertama kali menggunakan nama Im Yang Tjoe.
Penulis asal Slawi ini sangat produktif di tahun 1928, sebab sebagian karyanya lahir pada waktu tersebut, di antaranya: Itoe Bidadari dari Rawa Pening dan Oh Harta. Pada tahun 1929 terdapat Dalam Halimoen dan Koepoe-Koepo.
Ia terus menulis Ketesan Aer Mata di Padang-lalang (1930), Gelap Goelita Lantaran Sejanpanja Kampret dari Yomani (1931), Angin Pagoenoengan (1933), dan Koemandangja Soemoer Djalatoenda (1933).
Keseluruhan karya tersebut ia terbitkan pada berbagai kota di Jawa. Boen terus menulis setelah Indonesia merdeka yang rata-rata terinspirasi dari legenda rakyat, sejarah nusantara, dan wayang.
BACA JUGA:Sejarah dan Asal Usul Tembok Luwung Tegal yang Menyimpan Banyak Kisah, Sosok Ulama dari Jawa Barat
Kiprah sebagai jurnalis
Boen mendirikan majalah sastra Boelan Poernama pada tahun 1929 di Semarang. Hal ini yang membuat ia terasah kemampuannya sebagai jurnalis dan editor.
Tidak hanya itu, saat di Bandung pada tahun 1930-1932, Boen menjabat sebagai Pimpinan Redaksi Soemanget.
Karir jurnalisnya berlanjut saat memimpin Biographical Publishing Centre di Solo dan pernah menerbitkan buku Orang Tionghoa Jang Terkemoeka di Java tahun 1935.
Saat Boen menjadi jurnalis di Bandung, ia bertemu dengan Soekarno setelah menjalani hukuman di lapas Sukamiskin sekitar tahun 1932 -1933.
Hal itulah yang menjadi latar belakang buku biografi Soekarno pertama kali yang ditulis Boen, yakni Soekarno Sebagi Manoesia.
Isi buku biografi tersebut menceritakan sosok Soekarno sebagai manusia biasa dan sebagian besar tentang masa muda presiden pertama di Indonesia ini.
BACA JUGA:Kilas Sejarah Pabrik Texin Tegal, Perusahaan Tekstil Tersohor Pada Masanya
Buku tersebut juga menceritakan kisah asmara orang tua Soekarno dan pada pertama kalinya Soekarno menceritakan perbedaan pendapatnya dengan sang mertua, Tjokroaminoto.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Boen terus membuat karya seperti Tjilik Roman’s serta Goedang Tjerita dan Tjantik. Pada masa ini tulisan yang ia buat tidak lagi mengkritik pemerintah dan fokus pada folklor Jawa dan wayang.
Mendirikan pabrik “Pilkita” yang terkenal
Dedikasi Boen tidak hanya pada sastra dan literasi, ia juga senang mandalami pengobatan tradisional dan herbal. Dari sini ia berhasil meracik obat penambah stamina yang hingga saat ini dikenal sebagai Pil kita.
Obat tersebut Boen ciptakan untuk seluruh kalangan masyarakat tanpa memandang kasta dan etnis. Hal itu juga yang menjadi alasan dinamakan Pil Kita.
Pilkita sangat sukses dan terkenal, terutama pada kalangan supir bus dan truk jarak jauh. Kehadiran jamu ini juga mereformasi bentuk jamu yang biasanya serbuk menjadi tablet.
Hingga saat ini, jamu stamina tersebut terus berinovasi dan masih beroperasi di bawah PT Marguna Tarulata APK Farma di Tegal, Jawa Tengah.
BACA JUGA:Kenapa Kuliner Khas Tegal Ini Bernama Glotak? Begini Sejarahnya
Sosok Tan Hang Boen telah berkontribusi banyak untuk Indonesia. Namun sayangnya, semakin hari namanya terus tergerus dan terlupakan.
Bahkan belum ada pemerintah setempat yang memberikan penghargaan, padahal nama Tan Hang Boen cukup terkenal di kalangan peneliti luar negeri.
Agar kiprah dan kisah tokoh dari Tegal ini tidak terlupakan, jangan lupa untuk bagikan artikel ini ke orang sekitarmu. ***