Setelah tanam paksa dicabut, produksi gula tidak berhenti. Swasta Belanda dan sultan-sultan dari Keraton Solo dan Yogyakarta mengambil alih pabrik dan ladang tebu.
Hal ini membuat Keraton untung berkali-kali lipat, sampai-sampai gaji priyayi yang biasanya dibayar dengan tanah diganti menjadi hasil ekspor gula.
Seiring berjalannya waktu, walaupun perselisihan masih ada, pertukaran budaya tetaplah terjadi. Keraton yang sering menerima tamu dari Belanda lama-kelamaan tertarik pada kulinernya.
Makanan yang sebelumnya hanya bisa ditemukan di restoran Eropa, ternyata bisa ditemukan dalam versi lokalnya. Contohnya, Selat Solo atau juga dikenal dengan nama Bistik Jawa.
Nah, itulah alasan mengapa kuliner Jawa Tengah dan Yogyakarta cenderung manis. Jadi, bagi Anda yang ingin menjelajahi kekayaan kuliner nusantara, khususnya cita rasa manis yang khas, Jawa Tengah dan Yogyakarta adalah destinasi yang tak boleh terlewatkan.***