JAKARTA, radartegal.com - Pemerintah pusat dan daerah diminta untuk menghitung kebutuhan anggaran konservasi di dua obyek wisata. Nantinya, itu bisa digunakan untuk penentuan tarif destinasi wisata itu.
Itu disampaikan Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih saat membacakan hasil hasil rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Jogjakarta, dan Nusa Tenggara Timur serta pihak terkait di DPR, Senin 22 Agustus 2022 kemarin.
Menurut Fikri, Komisi X DPR RI meminta pemerintah pusat dan daerah untuk menghitung kebutuhan anggaran terkait kepentingan konservasi di destinasi wisata, seperti candi Borobudur dan Taman Nasional Komodo. Itu, untuk menjadi dasar kepastian menentukan tarif masuk ke destinasi tersebut.
Fikri menegaskan isu konservasi merupakan suatu hal yang wajib dijalankan setiap pengelola di situs cagar budaya, maupun taman nasional yang sekaligus sebagai destinasi wisata prioritas. Sehingga, jangan hanya dijadikan alasan untuk menaikkan tarif.
"Dalam konteks konservasi, harus selalu memperhatikan carrying capacity atau daya dukung dan daya tampung suatu cagar budaya maupun taman nasional untuk menjaga keberlangsungan destinasi wisata. Itu, harus tertuang dalam dokumen perda tentang rencana tataruang dan wilayah (RTRW),” imbuh politisi PKS ini.
Fikri juga meminta Pemerintah Daerah dan para Pengelola Wisata Candi Borobudur serta Taman Nasional Komodo untuk menggunakan perspektif konservasi dengan dasar hukum perundangan yang sesuai. Misalnya terkait cagar budaya, mesti mengacu pada UU 11 tahun 2010 tentang cagar budaya.
“Di pasal 97 UU Cagar budaya, badan pengelola terdiri atas unsur pemerintah pusat, daerah, serta masyarakat adat,” tambah Fikri.
Menurut Fikri, pihaknya mendukung konsep single authority management, atau satu atap untuk pengelolaan candi Borobudur khususnya, sesuai dengan UU cagar budaya tersebut. Sedangkan menurut UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, konsep daya dukung dan daya tampung taman nasional khususnya harus tertuang dalam dokumen kajian lingkungan hidup strategis (KLHS).
“Bagi pemda yang mengelola kawasan hutan lindung atau konservasi alam, seharusnya KLHS merupakan bagian tak terpisahkan dalam Perda RTRW mereka,” jelasnya.
Maka, kata Fikri, pendekatan physical carrying capacity, atau daya dukung fisik tepat diterapkan dalam konservasi khususnya di Candi Borobudur dan Taman Nasional Komodo. Sebab, daya dukung fisik suatu kawasan berhubungan dengan ukuran dan jumlah area yang dapat diakomodasi dalam suatu ruang fisik yang layak.
Terkait isu kenaikan tarif di candi Borobudur dan Taman Nasional Komodo, Fikri menilai wajar adanya terobosan dari pemda terkait untuk meningkatkan pendapatan asli daerahnya. Namun harus mengacu pada UU tentang harmonisasi peraturan perpajakan dan UU pajak dan retribusi daerah, agar ada dasar hukum yang jelas. (*)