Aseng punya kantor proyek di dekat tambang itu. Sekalian mess karyawan dan staf. Kami tiba di mess perusahaan. Hari sudah terik. Matahari sudah tepat di atas ubun-ubun.
"Kita salat duhur dulu," ujar Aseng. Saya pun tersenyum. Dalam hati. Saya pikir mau makan dulu. Saya lihat sudah ada prasmanan di meja makan.
Aseng memang membangun masjid di tengah belantara hutan dan tambang itu. Ia juga mengangkat imam dan pengurus masjid "digaji hanya untuk itu. Sang Imam dari Balikpapan, lulusan pondok salafiyah Bangil, Jatim.
Setelah berwudu saya mendorong Aseng untuk jadi imam salat. Ia ganti mendorong saya. Saya tetap mendorongnya. "Akan lebih afdol kalau tuan rumah yang jadi imam," kata saya. "Lebih afdol kalau yang lebih tua yang jadi imam," jawabnya sambil mendorong saya.
Kami dorong-dorongan.
Saya kalah kuat. Juga kalah uang.
Ketika saya sudah mengambil posisi imam Aseng menanyakan sesuatu yang saya lupa menjelaskan.
"Kita jamak-qashar kan?" tanyanya.
"Benar. Dua rakaat, lalu dua rakaat lagi," jawab saya.
Salat dan makan selesai. Kami terus ke lapangan: melihat bagaimana orang menambang batu bara. Itulah emas hitam masa kini. Bumi Kalimantan ternyata bumi emas. Begitu emas hijau hilang, emas hitam terbilang. (*)