Merekalah yang berusaha menundukkan Ramos. Ramos melawan. Terjadi tembak-menembak. Salah satu polisi perbatasan itu kena tembak. Ia sedang mengambil posisi di antara Ramos dan siswa. Untuk melindungi agar korban tidak bertambah.
Dor! Ramos pun terkapar. Kena tembak. Tewas. Selesai. Tidak akan bisa diungkap motif yang membuatnya begitu.
Sampai kelak ada peristiwa yang sama. Dalam waktu dekat.
Menurut media di sana, Ramos beberapa kali berhenti sekolah. On-off. Ia lantas bekerja sore di restoran fast food Wendy's di kota itu. Ia punya uang. Ia tabung. Untuk membeli hadiah ulang tahun pada diri sendiri.
Begitu bisa membeli senjata Ramos kirim foto ke teman sekelasnya. Foto dua senjata itu. Ia pun membanggakan penampilan barunya dengan rompi dan ranselnya. "Anda sudah tidak akan kenal saya lagi. Saya sudah berbeda," tulisnya.
Salvador Ramos adalah nama Spanyol. Demikian juga nama dua guru yang ia tembak. Pun nama-nama 19 siswa yang tewas. Sebagian besar berumur 9 dan 10 tahun.
Hari penembakan itu adalah hari kedua sebelum hari terakhir sekolah. Setelah itu sekolah libur panjang. Liburan musim panas. Selama dua bulan.
Karena itu, hari itu, sebenarnya hari istimewa. Siswa boleh pakai pakaian apa saja yang paling disuka. Alas kaki pun bebas. Boleh pakai sandal atau sepatu kesukaan.
Hari itu adalah hari suka ria menjelang liburan. Di kelas biasanya guru hanya mengajak siswa diskusi 'siapa liburan ke mana dan mengapa'.
Bagi yang kelas 4 hari itu adalah hari terakhir di sekolah itu. Untuk pindah ke sekolah menengah.
Hari itu ternyata hari bencana. Seumur hidup tidak disangka ada yang seperti itu di kota sekecil dan sedamai itu.
Ramos, yang bicaranya cadel dan sering di-bully atas kecadelannya itu, adalah pembuat sejarah di situ. Hitam. Kelam. (*)