Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati masih dipercaya Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada periode kedua pemerintahannya. Jika pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih seperti saat ini dikhawatirkan utang luar negeri atau asing akan terus membengkak.
Mantan Sekretaris Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Muhammad Said Didu memperkirakan utang negara hingga akhir periode Jokowi mencapai belasan ribu triliun.
Utang yang kemungkinan akan terus bertambah, disebutkan Said Didu, berasal dari pembiayaan oleh pemerintah, BUMN, dan juga Bank Indonesia (BI).
"Perkiraan saya, jika pemerintahan ini tetap seperti gaya sekarang, maka utang publik (pemerintah+BUMN+BI) sampai dengan 2024 sekitar Rp18.000 triliun," ujar Said Didu melalui akun Twitternya, Selasa (5/4).
Lebih lanjut, dalam catatannya Said Didu mendapati utang yang ada pada masa pemerintahan Jokowi hingga akhir tahun 2021 kemarin sudah lebih tinggi dari catatan para politisi yang menyebut mencapai Rp 7.000 triliun.
"Akhir 2021 sudah Rp 13.440 triliun," demikian Said Didu.
Sebelumnya di tengah naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) dan pejak pertambahan nilai (PPN), ternyata utang asing di era Presiden Joko Widodo ikut meroket tajam. Nominalnya saat ini bahkan sudah tercatat menembus Rp7 ribu triliun.
Angka ini, diingatkan Direktur Gerakan Perubahan, Muslim Arbi, berbahaya bagi kesehatan keuangan dan tata kelola negara. Sekalipun jika dibandingkan dengan PDB, besaran utangnya masih berkisar 40,17 persen atau angka yang dianggap masih aman oleh pemerintah.
“Tapi angka itu pasti merangkak naik terus mendekati 60 persen batas tertinggi yang disyaratkan oleh UU Keuangan Negara. Jika dilihat dari kinerja ekonomi pemerintah saat ini, tidak menutup kemungkinan, Jokowi akan tambah utang lagi," ujarnya kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (3/4).
Jika terus menambah utang, maka akan menambah beban keuangan negara yang mengakibatkan negara semakin tidak berdaya dan berwibawa. (rmol/zul)