Bisnis antigen, PCR, masker, APD, dan yang terkait Covid kelihatannya segera berakhir.
Tiongkok, satu-satunya negara yang punya kebijakan ''tidak ada toleransi'' Covid kini jadi perhatian dunia. Tiongkok masih tetap mempertahankan kebijakan itu. Di sana, setiap kali muncul ada penderita baru Covid, langsung dilakukan lockdown di kota itu. Tidak peduli kota kecil atau besar.
Sudah banyak kota yang di-lockdown secara bergantian selama setahun terakhir.
Minggu lalu giliran kota besar Shanghai. Awalnya hanya Shanghai bagian timur: jutaan penduduknya dilarang keluar rumah. Dua hari lalu giliran Shanghai bagian barat.
Itu karena terjadi ledakan penderita Covid di Shanghai. Varian Omicron.
Selama bulan Maret ini saja, tercatat 20.000 orang Shanghai terjangkit Omicron. Angka sebulan itu sudah melebihi jumlah penderita Covid selama dua tahun terakhir dijadikan satu.
Maka dunia kini mempertanyakan kebijakan Tiongkok yang zero tolerance Covid itu. Selama ini Tiongkok menjadi yang terbaik dalam mencegah penularan Covid. Di negara yang penduduknya 1,3 miliar itu, hanya kurang 200.000 yang terkena Covid. Bandingkan dengan Indonesia yang mencapai 6 juta orang.
Kini ketika dunia sudah mulai mengakhiri pandemi, Tiongkok masih berkutat dengan lockdown. Masih begitu sedikit yang terkena Covid di Tiongkok. Sehingga dikhawatirkan masih banyak yang berpotensi akan terkena Covid.
Padahal imunisasi begitu meluas di Tiongkok. Toh Omicron masih mengancam –meski tingkat yang meninggal dunia memang nyaris 0.
Bagi kita yang siap-siap meninggalkan pandemi memang masih ada PR yang harus diselesaikan. Yakni dampak Covid terhadap penurunan kemampuan penderitanya yang sembuh.
Tidak sedikit di antara mereka yang merasa daya ingatnya menurun. Ada juga yang merasa daya pendengarannya berkurang. "Pendengaran saya tidak bisa stereo lagi," ujar seorang teman di Jakarta.
Tentu kita juga harus mengevaluasi bidang pendidikan. Selama dua tahun ini berapa banyak anak-anak kita yang mengalami ''defisit ilmu pengetahuan''. Akibat tidak sempurnanya proses belajar-mengajar.
Saya pernah berdialog dengan guru-guru di pesantren keluarga saya. Mereka bilang defisit pengetahuan itu bisa mencapai 40 persen. Kalau pandemi benar-benar berakhir maka defisit itu harus ditambal.
Pandemi, pun kalau sudah lewat, buntutnya masih panjang. (*)