Konten tentang sejarah pawang hujan di Indonesia yang diunggah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI di akun Instagram resminya dikritisi penceramah, Ustaz Felix Siauw.
Felix pun heran dan tidak menyangka, sosial media sekelas kementerian itu turut andil dalam aksi pawang hujan, yang selama ini banyak dicibir netizen.
“Coba pikir, kalau selevel kementrian pendidikan aja udah posting begini, lalu mau diharap apa dari pendidikan Indonesia?” tulis Felix di Instagramnya, Sabtu (26/3).
Mending, kata Felix, Kemdikbud tak perlu lagi mengurusi dunia pendidikan yang mengajarkan ilmu terapan. Penceramah mualaf itu pun tak tahu harus bagaimana lagi.
“Ya udah. Ga usah belajar meteorologi, fisika, biologi, kimia. Masa bodoh sains. Cukup berkomunikasi dengan gelombang Teta aja,” cetus Felix yang melampirkan tangkapan layar unggahan Kemdikbud.
“Klenik kok dianggap pendidikan, sepertinya memang kementrian pendidikan temannya Rara di langit, bareng pekerja dan para pembalap, yang ada AC besar dan remote-nya ada di Rara,” sambung dia.
Felix pun bertanya kepada kementerian yang mengurusi sektor pendidikan di Indonesia itu, pasca mengunggah meme tentang pawang hujan.
“Apa mereka yang masih mikir di kementrian pendidikan ga malu ada postingan official begini? Agama ga mau taat, belajar ga nyampe. Yassalam!,” tandasnya.
Sebelumnya, Aksi Pawang Hujan yang dilakukan Mbak Rara pada perhelatan MotoGP di Mandalika, NTB kemarin ternyata turut direspons oleh Kemendikbudristek.
Melalui unggahan di Instagram bercentang biru @kemdikbud.ri, ternyata pawang hujan sudah ada sejak lama, dan sebutan berbeda-beda dan ada di sejumlah wilayah di Indonesia.
“Seperti dukun Pangkeng bagi masyarakat Betawi. Nerang Hujan di masyarakat Bali, hingga Bomoh bagi masyarakat Melayu di Riau. Adapun ilmu kebatinan ini disebut Pangngissengngang oleh masyarakat Bugis, Sulawesi Selatan,” tulis di keterangan resmi Kemdikbud RI dikutip fajar.co.id.
Pawang ini sendiri menggunakan beberapa benda agar hujan yang diharapkan segera mengguyur.
“Pawang hujan menggunakan gelombang otak Teta untuk ‘berkomunikasi’ dengan semesta ketika sedang melaksanakan tugasnya, dibantu kayu dan asap untuk menghalau hujan,” tambahnya.
“Uap dan panas yang dihasilkan, kemudian dihantarkan menuju langit dengan bantuan ketenangan bantin yang sudah dipelajari oleh seorang pawang hujan,” sambung di keterangan unggahan Kemdikbud. (fajar/zul)