Ia marah dan berani membongkar dugaan manipulasi seleksi CPNS dosen karena waktunya sudah terbuang percuma selama 6 bulan. Namun, pada akhirnya dia justru dicurangi.
“Saya marah di sini karena memprotes ketidakadilan & kezaliman yang terang-terangan. Sudah 6 bulan saya berkorban waktu, tenaga, dan biaya buat ujian, tapi digagalkan karena alasan almamater & kedekatan,” katanya.
“Kalian asal pilih SDM bukan dari keterampilan, tinggal tunggu imbas buruknya kapan,” tambahnya.
Ia menyebutkan, perguruan tinggi katanya tempat majunya peradaban, tetapi ini jelas meritokrasi diputarbalikkan.
“Satu-satunya alasan saya mengikuti Rekrutmen ini adalah untuk pindah & menemani calon istri saya. Saya punya 2 pilihan, dan salah satunya adalah Rekrutmen ini,” imbuhnya.
“Tapi sekarang saya justru malu bahkan sekadar sempat mempertimbangkan kalian,” bebernya
Ia menegaskan tidak membutuhkan pekerjaan sebagai dosen di kampus tersebut karena sudah memiliki pekerjaan yang lebih baik.
“Ternyata sama sekali tak perlu ada dilema begitu tahu buruknya rencana menjadi dosen di kampus ini,” kata dia.
“Bakat dan keterampilan saya sama berharga, berguna, berpotensinya untuk berkarya di tempat lain, bukannya yang buta prestasi,” tambahnya.
Ia berpesan kepada Santa dan para penguji yang diduga telah memanipulasi nilai buat Santa.
“Buat si Santa dan para Penguji yang terlibat manipulasi nilai ini & berbuat tak adil: Kalian akan memakan gaji PNS yang kalian dapat dari proses mencurangi dan menzalimi orang ini. Setiap hari. Selama 30 tahun ke depan. Hentikan. Sekarang,” pintanya.
Ia sengaja tidak membeberkan identitas Santa, kampus dan para penguji karena tidak ingin terjerat UU ITE.
“Ini masih mending. Saya dicurangi tapi saya masih punya pekerjaan aman. Di luar sana banyak kandidat yang muda, tulus, jujur, pekerja keras, kompeten, penuh harap; tetapi harus jadi korban nepotisme seperti kalian. Mereka bisa kehilangan pekerjaan, bahkan masa depan,” bebernya.
Menurutnya, anti meritokrasi hanya akan melahirkan pekerja tak kompeten, pencari aman, lamban.
“Satu-satunya alasan kenapa kalian masih bertahan adalah karena publik belum sadar bahwa pendidikan sepanjang hayat tak butuh sistem usang kalian,” katanya.
“Saya semakin jijik dengan sistem semacam ini. Pendidikan tinggi akan selamanya jadi tempat kroni yang memupuk kedekatan, menutup pintu dari talenta berbakat berdatangan. Terus saja seperti ini, kalian semakin tak relevan dan ditinggalkan,” ucapnya.