Kongres Tanah

Kamis 16-12-2021,08:00 WIB

Presiden langsung merespons apa yang dikemukakan Buya Abbas. Bahwa terjadinya penguasaan tanah seperti itu bukan ia yang tanda tangan. Maksudnya, itu terjadi sejak sebelum masa jabatannya sebagai presiden pengganti Susilo Bambang Yudhoyono.

Presiden menegaskan justru ia akan menertibkannya. Ia akan mencabut izin-izin penguasaan lahan besar yang tidak sesuai dengan aturan.

Tanah yang diambil kembali oleh negara itu akan dibagikan kepada siapa pun. Yang mengajukan proposal yang baik. Termasuk kepada Anwar Abbas kalau ia mau mengajukan proposal dimaksud.

Gaya dan mimik Presiden —saat berpidato itu— memang serius. Tidak salah kalau ada yang menafsirkan Presiden lagi marah. Tapi memang belum tentu marahnya pada Anwar Abbas. Bisa kepada siapa saja.

Yang jelas presiden hari itu mendapat panggung yang tepat untuk menjelaskan semua itu. Harusnya presiden berterima kasih mendapat umpan yang cantik. Bukankah apa yang dikemukakan Buya itu sudah jadi isu nasional? Yang memang harus diklarifikasi? Kapan lagi presiden dapat waktu menjelaskannya secara tepat dan luas selain di situ?

"Saya sama sekali tidak merasa presiden marah kepada saya," ujar Buya.

Ia menunjukkan dua kejadian setelah pidato itu. Yakni ketika ia minta presiden mau berfoto bersama pimpinan MUI. "Suasananya enak sekali," katanya.

Demikian juga ketika acara selesai. Presiden sudah meninggalkan tempat. Sudah menuju mobil. Waktu itu Buya tidak ikut mengantar. "Sudah terlalu banyak yang ingin mengantar," katanya. Buya pilih duduk lagi di ruang acara.

Sesaat kemudian seorang ajudan presiden mendatanginya. Presiden ingin bertemu Buya Abbas. Maka, setengah berlari, Buya mendatangi presiden yang sudah berdiri di samping mobil kepresidenan.

Di situ presiden mengulangi lagi apa yang disampaikan di podium. Agar umat Islam mengajukan proposal untuk mendapat lahan 40.000 sampai 50.000 hektare.

Buya mengiyakan permintaan Presiden. Lalu mereka siap-siap berfoto bersama. Bertiga. Posisi Buya di tengah. Presiden di kanan. Menteri agama di kiri.

Saat itulah menteri agama minta agar posisi untuk foto diubah: Presiden yang harus di tengah. Tokoh sentralnya adalah presiden.

Tapi Presiden tidak mau berubah posisi. Saya yang tetap di tengah. "Presiden sendiri yang menghendaki agar posisi saya tetap di tengah," ujar Buya.

Buya pun kagum dengan sikap Presiden seperti itu. "Peristiwa itu benar-benar menunjukkan kerendahan hati Bapak Presiden," kata Buya.

Buya mengharapkan agar pengusaha dari kalangan Islam menyambut baik tawaran presiden itu. "Sudah ditawari presiden sampai seperti itu. Jangan sampai tidak ada yang mengajukan," pintanya.

Buya, 65 tahun, adalah pensiunan pegawai negeri. Ia dosen di UIN Jakarta. Awalnya saya memanggilnya profesor. Beliau menolak. "Saya bukan profesor. Tahun 1999 pangkat saya memang sudah 4A. Tapi ketika pensiun di tahun 2020 pangkat saya tetap 4A," katanya.

Tags :
Kategori :

Terkait