Oleh: Dahlan Iskan
MENGAPA Indonesia lebih tahan terhadap Omicron —varian terbaru Covid-19? Karena Indonesia bercuaca panas?
"Lebih karena tingkat sinar UV di Indonesia lebih tinggi," ujar ahli virus Indro Cahyono.
Dulu pernah ada yang berteori Covid-19 tidak akan masuk Indonesia. Itu karena Indonesia negara tropis. Panas. Bukan negara dingin bersalju.
Nyatanya Covid merajalela pun di Indonesia. Sampai pernah mencapai lebih 40.000 kasus baru sehari. Tidak sampai satu minggu.
Dua varian baru yang merajalela di banyak negara tidak begitu berpengaruh di Indonesia: Delta dan Omicron. Dokter hewan Indro pun ingat peristiwa pribadi di tahun 2018. Sebelum ada Covid-19.
Hari itu, di sebuah laboratorium virus, Indro kelupaan sesuatu. Ia lagi memproses virus. Ruang lab lagi terang benderang. Lampu UV (ultra violet) di lab itu kalah terang dengan lampu penerangan. Tidak begitu terlihat.
Ketika meninggalkan lab itu —tidak lama lagi akan masuk kembali— Indro lupa mematikan lampu UV. Saat kembali ke meja lab ia kaget: semua virus yang ia teliti telah mati.
Tahun lalu, ketika Civid-19 sudah masuk Indonesia, Indro melakukan eksperimen yang lain lagi. Di siang bolong. Jam 12.00. Cuaca lagi panas-panasnya. Sekitar 31 derajat.
Indro tidak mau menyebutkan lokasinya: di alam terbuka. Yang jauh dari penduduk. Desa terdekat sekitar 5 Km.
Di situlah drh Indro membuka petri dish. Cepuk lab yang kecil itu. Yang ukurannya sebesar tempat contact lens itu. Yang desainnya memang aman: dibuat khusus untuk menyimpan dan men-transport virus. Cepuk itu masih pula dimasukkan kontainer pengaman.
Di tengah alam terbuka itulah drh Indro membuka tutup cepuk. Agar virus Covid-19 terpapar sinar matahari: lima menit.
Cepuk itu ia tutup kembali. Ia larikan ke lab: virus Covid-19 di cepuk itu mati semua.
Tentu saya tidak akan menceritakan detailnya: di lab mana, di alam terbuka mana, apakah saat itu ia pakai APD dan keterangan rinci lainnya. Biarlah ia menjadi peneliti yang tidak terganggu oleh masalah-masalah di luar ilmu pengetahuan.
Drh Indro yang pernah dua tahun menjadi asisten profesor peneliti virus di Australia itu meneruskan kajiannya: mencari literatur kadar sinar UV di seluruh dunia.