Tandan sawit bisa dikumpulkan: dijadikan bahan bakar biomass. Pelepah sawit juga bisa dikumpulkan: jadi bahan bakar biomass. Pohon-pohon yang tua bisa ditebang untuk bahan bakar biomass. Dan yang sexy: cangkang kelapa sawit —tempurung-nya sawit.
Cangkang itu mengandung kalori yang sangat tinggi. Bisa di atas rata-rata batu bara. Bagus sekali untuk dijadikan bahan bakar biomass.
Maka, teoritis, kita bisa punya sekitar 7.000 MW biomass dari sawit. Ditambah geotermalnya Pertamina yang baru, total bisa mencapai 10.000 MW.
Target pemerintah pun tercapai. PLN pun tidak dibuat sulit.
Ada tapinya.
Cangkang sawit yang sexy itu kini sudah jadi rebutan dunia. Cangkang sawit itu telah jadi komoditas ekspor tersendiri. Terutama diekspor ke Jepang. Atau Eropa.
Untuk apa di sana?
Sama: untuk bahan bakar juga.
Pun tandan sawit. Bisa laku: jadi bahan baku chip board.
Maka praktis hanya pelepah dan batang sawit yang belum laku.
Itulah yang saya maksud kekompakan tadi. Kementerian keuangan tentu senang kalau cangkang sawit itu bisa diekspor. Kita bisa mendapat devisa tambahan. Ekonomi makro kita lebih kuat. Cadangan devisa kita terus mencapai rekor. Neraca perdagangan kita kian positif.
Itu persis dengan persoalan ekspor minyak sawit kita. Ekonomi makro kita begitu bagus berkat harga ekspor sawit yang tinggi. Padahal ibu-ibu di dapur menjerit: harga minyak goreng melejit. Yang dulu Rp 15.000 sudah menjadi Rp 23.000.
Memang, ada yang aneh di ekspor cangkang itu. Kita ekspor cangkang ke Jepang sebagai bahan bakar. Sebaliknya kita impor LNG dari Jepang sebagai bahan bakar. Dengan harga mahal.
Tentu kita bisa mengurangi impor LNG kalau cangkang jutaan hektare itu bisa menghasilkan listrik di dalam negeri.
Intinya: ambisi pemerintah untuk mendapat green energy 10.000 MW bisa dicapai. Tanpa membuat PLN sulit.
Yang sulit kelihatannya mengoordinasikannya. Yang ekspor cangkang itu perusahaan sawit swasta. Yang impor LNG itu Pertamina.