Masalahnya: ada kubu 1 dan kubu 2.
Kubu 1 merasa akan lebih punya waktu kalau Muktamarnya diundur. Siapa tahu situasi dukungan masih bisa berubah. Terutama dukungan yang tidak kelihatan —dari sebangsa jin di zaman digital.
Kubu 2 merasa sudah di atas angin. Dukungan sudah bulat. Termasuk yang dari jin digital itu. Kalau bisa maju tentu lebih baik. Tidak akan masuk angin. Kalau mundur? Siapa tahu ada perubahan dukungan.
Dukung-mendukung itulah masalah utamanya. Tepatnya: mengundang dukungan itulah kebiasaan baru NU yang sudah agak lama —setidaknya sejak Muktamar di Jombang atau di Makassar lalu.
Kubu 1: KH Said Agil Siroj. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dua periode. Incumbent.
Kubu 2: KH Yahya Staquf. Katib Aam Syuriah PB NU. Ia kakak kandung Menteri Agama sekarang ini.
Dua-duanya bagi saya orang yang hebat. Sama-sama ulama. Sama-sama berpikir modern. Sama-sama moderat.
Bagi saya, siapa pun yang terpilih sangat baik bagi NU —dan bagi Indonesia.
Kalau saya menjadi pemerintah akan saya lepas Muktamar ini. Sambil membiasakan demokrasi berkembang di NU. Sambil menciptakan iklim persaingan yang bersih.
Kalau KH Said Agil yang terpilih, NU akan tetap hebat.
Kalau KH Yahya Staquf yang terpilih NU tidak akan lebih lemah.
Ini hanya dari hebat ke lebih hebat. Atau dari lebih hebat ke hebat.
NU beruntung: punya dua calon ketua umum yang salah pilih pun tidak salah.
Apakah pemerintah Presiden Jokowi memihak?
Saya tidak melihat ada kepemihakan itu. Sampai kemarin.
Tapi sudah biasa terjadi: masing-masing kubu menyuarakan —secara bisik-bisik tetangganya Iis Dahlia— sebagai yang didukung penguasa. Padahal yang berkuasa bisa saja lagi tenang-tenang saja.