Putusan Banci Mahkamah Konstitusi: Inkonstitusional kok Dipelihara Dua Tahun

Sabtu 27-11-2021,07:10 WIB

Oleh: Fuad Bawazier*)

MESKIPUN terasa bernuansa kompromi, umumnya masyarakat menyambut gembira putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU Cipta Kerja yang penuh kontroversi itu.

Saking kontroversialnya, UU ini mempunyai banyak nama plesetan seperti UU Cilaka dan UU TikTok (belum di ketik sudah di ketok). Nuansa kompromi putusan MK itu, tampak dari kejanggalan putusan yang di satu pihak menyatakan UU Ciptaker inkonstitusional, tetapi tetap memberikan napas atau masa berlaku (tambahan) selama dua tahun sejak putusan dibacakan. 

Bagi saya yang awam hukum tapi kenyang pengalaman lapangan, sungguh menyesalkan putusan yang memberikan tambahan masa berlaku dua tahun itu. Kenapa?

Karena bagi pihak yang nekad, baik Pemerintah maupun swasta, tentu akan mencari dan mencuri peluang atau kesempatan untuk memanfaatkan tenggat dua tahun masa sebelum direvisi atau sebelum kembali kepada peraturan perundang-undangan lama alias aslinya.

Bila itu yang terjadi, maka kerusakan atau penyimpangannya di lapangan sudah semakin banyak, semakin menjadi-jadi, sudah semakin parah. Apalagi wasitnya alias pembuat UU atau kebijakannya diduga juga pemainnya.

Tegasnya, ada konflik kepentingan yang berpotensi merugikan negara. 
Artinya, putusan MK itu sejatinya banci, sebab telah menurunkan efektivitas dan wibawa dari putusan itu sendiri.

Akibatnya, masa dua tahun itu berpotensi menyulitkan perbaikan atau penyesuaiannya di lapangan. Baik bagi pemerintah maupun masyarakat, sebab penerapan UU CK bisa jadi sudah berjalan jauh.

Sudah terlalu dalam. Sehingga revisinya akan semakin sulit dan semrawut. 

Dalam pandangan saya, karena UU Ciptaker sudah dinilai dan dinyatakan inkonstitusional, seharusnya langsung dinyatakan tidak berlaku dan kembali ke aturan lama. Yaitu sebelum di berlakukannya UU Ciptaker.

Silahkan Pemerintah dan DPR menyusun UU yang baru tanpa harus ada pembatasan waktu dua tahun. Toh tidak akan ada kekosongan hukum atau aturan main, sebab MK menyatakan kembali (dulu) ke aturan lama.

Artinya, tidak perlu UU yang inkonstitusional itu dipelihara dulu selama dua tahun. Jadi sebelum  UU CK itu menelan lebih “banyak lagi korban”, karena dibiarkan berlaku dulu dua tahun. 

Sekali lagi bagi saya yang orang lapangan, putusan MK itu aneh, kurang logis. Karena itulah sulit bagi saya untuk tidak menduga bahwa meski majelis hakim yang memutuskan mempunyai semangat dan keinginan untuk menegakkan konstitusi tapi menundanya 2 tahun sebagai kompromi.

Mungkinkah itu kompromi dengan Pemerintah dan kelompok pengusaha tertentu?  

Berkompromi dengan oligarki politik dan oligarki bisnis? Atau karena para hakim MK itu sejatinya adalah politisi?

Tags :
Kategori :

Terkait