Majelis Ulama Indonesia (MUI) meyakini tidak ada istilah kriminalisasi ulama dan Islamofobia. Karenanya MUI mendukung upaya Densus 88 Antiteor menangkap para pelaku terduga terorisme di Indonesia.
"Langkah penanggulangan terorisme untuk menjaga keselamatan rakyat. MUI mendukung dan mengapresiasi Densus 88 dalam kinerja penanggulangan radikal dan terorisme," ujar Wakil Sekretaris Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme (BPET) MUI, Muhammad Najih Arromadloni di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (25/11).
Menurut Muhammad Najih, MUI percaya tidak ada yang disebut dengan kriminalisasi ulama atau Islamofobia. Alasannya, Karena kepentingan negara adalah menjaga keamanan dan keselamatan rakyat.
"Tentu kasus ini juga menjadi bahan evaluasi di MUI," tegasnya.
Dia menjelaskan aktivitas terorisme tak hanya sebatas pada pelaku di lapangan. Namun, pihak yang ikut mendanai.
"Dalam kesempatan ini kami juga ingin menyampaikan yang dilarang dalam aktivitas terorisme bukan hanya bagi pelaku lapangan. Pihak yang membantu aktivitas terorisme itu juga termasuk. Terkait dengan pendanaan. Banyak unsur yang menjadi supporting system dalam terorisme," paparnya.
Najih kembali mengingatkan tujuh sikap MUI seusai penangkapan Zain An Najah. Dia meminta masyarakat tidak reaktif menyikapi penangkapan tersebut.
"MUI mengimbau kepada masyarakat tidak membuat kegaduhan. Termasuk mengangkat isu pembubaran Densus 88 dan pembubaran MUIMajelis Ulama Indonesia. Kesalahan personal tidak bisa ditimpakan kepada instansi atau organisasi," terangnya.
Seperti diketahui, Densus 88 Antiteror menangkap Ketua Umum Partai Dakwah Rakyat Indonesia (PDRI) Ustad Farid Okbah, Ahmad Zain An Najah, dan Anung Al Hamat. Ketiganya ditangkap di Bekasi, Jawa Barat.
Ketiganya ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana terorisme terkait kegiatan terorisme Jamaah Islamiyah (JI). Zain An Najah tercatat sebagai salah satu anggota Komisi Fatwa MUI. Saat ini, dia telah dinonaktifkan dari kepengurusan MUI. (rh/zul)