Muchtar menjelaskan dipilihnya Desa Pesarean sebagai tempat pengolahan limbah B3, karena di daerah tersebut ada industri pengolahan besi seperti pengecoran maupun peleburan logam dengan bahan dasar kuningan dan almunium.
Di tempat itu pula terdapat pusat jual beli logam rongsokan seperti tembaga, alumunium, dan kuningan, serta industri rumahan vendor pabrikan dan industri kompor minyak.
Usaha peleburan besi, lanjut Muchtar, sudah berjalan turun temurun secara open burning dan pembuangan limbahnya dengan cara open dumping. Pengolahan limbah tersebut sering kali menyebabkan masalah lingkungan dan mengganggu kesehatan masyarakat.
“Untuk area yang terkontaminasi limbah saat ini tercatat 13.000 meter persegi, yang tersebar di tempat penimbunan limbah utama, permakaman umum, halaman sekolah, halaman area terbuka, pinggiran jalan aspal, dan sedimen-sedimen di selokan,” jelasnya.
Karenanya, DLH sudah melakukan pemetaan area terkontaminasi menjadi area sasaran khusus untuk remediasi, termasuk pula dasar bagi estimasi dan analisis proyek.
Muchtar menambahkan saat ini kondisi air tanah di Desa Pesarean sudah tercemar limbah tembaga (Cu), besi (Zn) dan timbal (Pb). Bagian bentang alam terisi urukan limbah B3 dengan volume sekitar 16.200 meter kubik.
Sementara untuk luas wilayah penyebaran air tanah terkontaminasi unsur tembaga lebih kurang lebih seluas 43.903 meter persegi dan besi 55.885,33 meter persegi. Sementara kondisi kesehatan masyarakatnya, terdapat gejala dan tanda kelaianan fisik akibat keracunan unsur logam.
Di antaranya sakit kepala (31,5%), mulut terasa sepat (27,5%), nyeri perut hilang timbul (19,8%), dan pucat (5,5%). Lalu konstipasi (9%), muntah putih (4%) dan tinja hitam (3%), diare, lemas, mual, kram, kelemahan otot lengan (1,8%), dan tungkai (3,3%).
“Sesuai dengan surat permohonan bupati kepada gubernur dan ditujukan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, telah dilakukan tahap pemulihan seperti melakukan penghentian dan pembersihan lahan yang tercemar limbah, melakukan remediasi, rehabilitasi, restorasi,” tandasnya.
Ke depannya, ungkap Muchtar lagi, Pemkab Tegal akan mengubah lokasi yang tercemar menjadi tempat wisata religi dan lahan bagi masyarakat untuk berjualan.
Di sisi lain, Wakil Bupati Tegal, Sabilillah Ardie tidak menampik kegiatan peleburan logam seperti alumunium, tembaga, timbal, merkuri, besi, dan aki bekas di tengah lingkungan permukiman nyata-nyata telah berdampak pada kesehatan warganya. Mereka terdampak pencemaran tanah, air tanah, dan udara yang sudah berlangsung puluhan tahun lebih.
Menurut Ardie, sekitar 20 ribu meterkubik (M3) tanah di Desa Pesarean Kecamatan Adiwerna tercemar limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) dari limbah pengelolaan logam-logam tersebut. Pencemaran, beber Ardie, juga menyebabkan air sumur untuk keperluan sehari-hari warga tak layak dikonsumsi.
Bertahun-tahunnya pencemaran lingkungan yang terus terjadi itu membuat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memprogramkan pemulihan lahan di Desa Pesarean. Upayanya diawali dengan sosialisasi pelaksanaan pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3 dan penyadartahuan kelompok rentan terpapar di Pendapa Amangkurat Pemkab Tegal, awal Juni 2021 lalu.
Alasan pemulihan lahan terkontaminasi itu didasarkan hasil pengujian sampel tanah 2012 lalu, menunjukkan sejumlah lokasi di Desa Pesarean konsentrasi logam beratnya sudah berada di atas nilai baku karakteristik beracun.
Uji sampel itu dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) bersama Universitas Padjdjaran (Unpad) saat menyusun kajian hidrogeologi di Desa Pesarean. Hasil pengujian sampel tanah di salah satu lokasi menunjukkan konsentrasi logam berat seperti tembaga (Cu) 5.323 ppm, timbal (Pb) 14.243 ppm, nikel (Ni) 1.336 ppm, dan Zinc (Zn) sebesar 50.851 ppm berada di atas nilai baku karakteristik beracun dalam lampiran VIII Peraturan Pemerintah 22 Tahun 2021.
"Nah, berikutnya berdasarkan studi kelayakan ESP3-Danida tahun 2016, diperkiraan volume tanah yang tercemar limbah logam di Desa Pesarean mencapai 20.000 meterkubik," ungkap Wabup Ardie.