Oleh: Dahlan Iskan
NAMANYA satu kata: Sukirman. Ia dokter. Ahli. Spesialis mata.
Opo tumon: Sukirman takut pada alat suntik. Dan itu harus ia bayar mahal: telat tahu bahwa dirinya menderita sakit lever.
Sebenarnya sudah lama Sukirman merasa cepat lelah. Sampai sang istri sayang sekali padanya: gak usahlah praktik spesialis sore hari. Cukup dari penghasilan sebagai dokter pegawai negeri saja. Agar jangan sampai kelelahan.
Sang istri juga dokter. Ahli. Spesialis mata.
Sang istrilah yang akhirnya merayu Sukirman. Agar mau memeriksakan diri. Pun cukup pemeriksaan yang tidak usah berhubungan dengan jarum suntik. Tidak perlu juga pakai tusukan untuk mengambil darah.
Cukup periksa urine.
Rayuan itu dilakukan karena kaki sang suami sudah kian bengkak. Kaus kaki panjang sudah diganti dengan yang lebih pendek. Yang tebal sudah diganti yang tertipis.
Tetap saja: kakinya kian bengkak. Sampai akhirnya hanya bisa pakai sandal.
Dari pemeriksaan urine itulah diketahui: levernya sudah parah. Maka mau tidak mau harus periksa darah. Sangat lengkap. Rupanya hanya takut mati yang bisa mengalahkan takut jarum suntik.
Jelaslah: levernya sudah sirosis. Di tahap akhir pula. Ketahuan juga: ada hepatitis B.
Berita baiknya: belum ada tanda-tanda kanker di dalamnya.
Anda sudah bisa menduga: pasangan itu bertemu di kampus –ketika sama-sama kuliah spesialis mata.
Sang suami dokter umum dari Universitas Brawijaya Malang.
Sang istri dokter umum dari Universitas Andalas (Unand) Padang.