Sejumlah pelanggaran penyidikan kasus dugaan kekerasan seksual oleh seorang ayah terhadap ketiga anak kandungnya di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan tengah ramai dibicarakan di media sosial.
Hal ini setelah Koalisi Bantuan Hukum Advokasi Kekerasan Seksual Terhadap Anak mengungkap dugaan adanya pelanggaran tersebut.
Sejak awal penghentian penyelidikan yang dilakukan penyidik Polres Luwu Timur, Koalisi Bantuan Hukum Advokasi Kekerasan Seksual Terhadap Anak menilai penyidikan dilakukan secara prematur.
Muhammad Haedir, direktur LBH Makassar mewakili tim kuasa hukum mengatakan, dalam proses penyidikan ditemui sejumlah pelanggaran.
Pertama, proses pengambilan keterangan terhadap para anak korban, pelapor selaku ibu dari para anak dilarang untuk mendampingi, juga untuk membaca berita acara pemeriksaan para anak korban yang penyidik minta pelapor untuk ditandatangani.
“Proses tersebut juga tidak melibatkan pendamping hukum, pekerja sosial, atau pendamping lainnya,” jelasnya dalam keterangan tertulis yang dikutip dari Fajar.co.id, Sabtu, (9/10).
Hal ini menurutnya menyalahi ketentuan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 23 yang menyatakanbahwa, “Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak Korban atau Anak Saksi wajib didampingi oleh orang tua dan/atau orang yang dipercaya oleh Anak Korban dan/atau Anak Saksi, atau Pekerja Sosial.”
Selain itu, pengambilan keterangan para anak korban yang hanya dilakukan 1 (satu) kali dan tidak didampingi dalam pemeriksaan tersebut mengakibatkan keterangan para anak korban tidak tergali dan terjelaskan utuh dalam berita acara interogasi pada berkas perkara.
Kedua, dasar penghentian penyelidikan oleh penyidik adalah termasuk dua dokumen yang dikategorikan penyidik sebagai bukti Petunjuk yaitu hasil asesmen P2TP2A Luwu Timur dan asesmen Puspaga Lutim.
Ia menjelaskan, kedua petunjuk tersebut pada pokoknya menyatakan para anak korban tidak memperlihatkan tanda-tanda trauma dan tetap berinteraksi dengan Terlapor selaku ayahnya.
Petunjuk tersebut dinilai berasal dari proses yang berpihak pada terlapor. Ini salah satunya ditunjukkan dari dipertemukannya para anak korban dengan terlapor ketika pertama kali pelapor meminta perlindungan di P2TP2A Luwu Timur.
“Petugas yang menerima laporan memiliki konflik kepentingan karena pertemanan dengan terlapor sebagai sesama Aparat Sipil Negara,” jelasnya.
Ketiga, dalam berkas perkara penyidikan yang dipaparkan pada gelar perkara khusus di Polda Sulsel terdapat dokumen yang semestinya didalami penyidik tapi diabaikan.
Salah satunya Visum et Psychiatricum (VeP) terhadap para anak korban, yang masing-masing menceritakan peristiwa kekerasan seksual yang dilakukan oleh terlapor.
Meski begitu, menurutnya, terdapat kejanggalan juga dalam dokumen tersebut sebab memasukkan hasil pemeriksaan P2TP2A Luwu Timur yang menerangkan para anak korban tidak memperlihatkan tanda-tanda trauma dan tetap berinteraksi dengan terlapor selaku ayahnya.
Keempat, ada upaya mendelegitimasi kesaksian Pelapor lewat tindakan pemeriksaan kejiwaan terhadap pelapor yang dilakukan penyidik. Pemeriksaan tersebut dilakukan tanpa dasar yang kuat serta tanpa persetujuan dan pemberitahuan kepada pelapor.
“Kami menilai hal ini justru menunjukkan ketidakberpihakan Penyidik Polres Lutim pada korban,” sambungnya.