Oleh: Dahlan Iskan
MUNGKIN Anda juga penasaran: berapa banyak pembaca Disway kita ini.
Saya sulit menjawab. Saya juga tidak tahu.
Mungkin Anda juga merasa: saya tidak terlalu peduli dengan rating dan ranking. Disway juga tidak main judul untuk mengejar itu. Saya tidak mengejar itu.
Saya sering menggugat diri sendiri —ketika menulis: mengapa harus ada judul. Maka, saya buat saja judul sekenanya —seperti yang Anda sudah tahu.
Saya hanya tahu jumlah pembaca lewat angka di Disway.id. Itu pun kalau dirutnya, Gunawan Sutanto, tidak lupa memberi tahu saya.
Tentu saya juga tidak bisa memegang angka di Disway.id itu. Terlalu banyak yang membaca Disway tidak lewat Disway.id. Bukankah banyak yang membacanya lewat grup-grup WA. Atau lewat Facebook. Ada juga yang lewat perseorangan —yang sengaja mem-broadcast Disway di akun mereka.
Misalnya, ada orang bernama Warijan. Ia mem-posting ulang Disway. Tiap hari. Pembacanya bisa sampai 300.000 sehari —bila isinya lagi dianggap bagus. Warijan itu orang Mojokerto. Awalnya ia buruh pabrik. Juga istrinya.
Delapan tahun lalu Warijan minta saran saya: berani nggak berhenti sebagai buruh pabrik. Waktu itu ia masih belum 30 tahun.
”Berani,” kata saya.
Ternyata baru istrinya yang diminta berhenti. Sang istri pindah jualan sayur. Warijan membantu istrinya all-out. Bangun pukul 3 pagi. Untuk mengantar istri ke pasar.
Warijan tetap kerja di pabrik, tapi perhatiannya lebih banyak untuk bantu istri. Termasuk tidak mau lagi kerja lembur.
Dua tahun kemudian saya diberi tahu: sudah bisa beli tanah. Lalu, bisa membangun rumah. Ia foto rumah baru itu. Dikirim ke saya.
Dua tahun berikutnya, Warijan kirim foto lagi: bisa beli mobil cicilan.
”Kalau kami berdua tetap jadi buruh, tidak mungkin punya rumah. Apalagi mobil,” ujar Warijan.