Oleh: Dahlan Iskan
INI soal 2 triliun juga. Kalau dikumpulkan. Dan lagi tulisan ini pasti aman: tentang durian. Disenangi di gurun sekaligus di kolam. Tidak mengenal agama atau pun ras.
Dan lagi, durian bisa mengangkat nasionalisme.
Seperti yang dilakukan Theng Ah Khiong ini. Ia termasuk yang tidak rela Indonesia kalah oleh Malaysia –dalam hal durian.
Sudah lebih tujuh tahun ia keliling Indonesia. Dari hutan ke hutan: mencari durian unggul di semua pulau.
Akhiong, nama panggilannya, lantas memutuskan untuk membuat lahan riset durian: 40 hektare. Lokasinya di Ogan Ilir, dekat-dekat yang Rp 2 triliun itu.
Di situlah Akhiong menanam 60 jenis durian paling unggul dari seluruh Indonesia. Tanaman itu kini sudah berumur 2 tahun. Serius sekali. Biaya pemeliharaan dan risetnya mahal sekali: Rp 125 juta/hektare sampai berbuah nanti.
Akhiong pun mengambil kesimpulan: durian terbaik adalah dari Kalimantan Barat. Khususnya dari hutan sekitar Entikong –dekat perbatasan dengan Serawak, Malaysia.
Juga: dari Bangka.
Lalu: dari Papua.
Akhiong begitu tersinggung kalau ada yang menulis –tidak perlu saya sebut nama penulisnya– durian terbaik adalah Musang King dari Malaysia. Saya sampai tersipu-sipu.
Lebih tersipu lagi kemarin malam, Minggu lalu. Ketika ada paket satu kotak datang ke rumah saya. Saya pikir itu ancaman bom. Ternyata kotak itu berisi durian. Masih utuh dengan kulitnya. Banyak sekali.
Pengirimnya: Akhiong!
Saya harus menghabiskan semua itu. Biar kapok. Biar kalau menulis tidak ngawur. Biar tahu begitu banyak durian Indonesia yang lebih enak dari Musang King.
Kotak itu datangnya dari Bangka. Dikirim dengan pesawat Garuda. Saya lupa menghitung berapa biji. Tiap biji beda rasa, beda nama, beda agama –ups beda teksturnya.