Benar saja. Begitu mendarat di Jakarta Gus Dur memecat Wiranto.
Sejak pemecatan Hamzah Haz, Jusuf Kalla, Laksamana Sukardi, dan Wiranto itu, suasana perpolitikan nasional kian panas. DPR terus bergejolak. Laks sudah menjadi ketua fraksi terbesar di DPR.
Maka terjadilah sejarah itu. Gus Dur lengser. Megawati menjadi presiden. Laksamana Sukardi kembali menjadi menteri BUMN.
Banyak sekali kisah bagaimana Laks jadi menteri di bawah Gus Dur. Semua ditulis secara detail –dan ada kocaknya. Misalnya bagaimana Gus Dur secara mengejutkan mengangkat tokoh-tokoh besar dunia sebagai penasihat presiden: Henry Kissinger (mantan Menlu Amerika yang legendaris), Lee Kuan Yew (mantan PM Singapura yang hebat), Paul Volcker (mantan pimpinan Bank Sentral AS).
Gus Dur mengundang mereka untuk ke Jakarta, bertemu langsung dengan presiden. Sebelum ke presiden mereka bertemu Laks minta bahan-bahan masukan. Dalam hati, Laks berkata: kok mereka itu serius sekali, padahal Gus Dur banyak candanya. Laks pun minta agar setelah bertemu presiden mereka memberi kabar bagaimana hasilnya.
"Saya kira sulit bagi kami untuk memenuhi keinginan presiden," kata mereka seusai bertemu Gus Dur. Di sebagian besar waktu pertemuan itu Gus Dur tertidur. "Kelihatannya presiden terlalu lelah," kata mereka.
Laks awalnya adalah bankir serius yang mapan. Ia lulusan teknik sipil ITB. Ia bangga bisa di universitas, fakultas, dan bangku yang sama dengan Bung Karno. Maka ia terinspirasi untuk jadi pejuang. Ia merasa hidupnya sia-sia kalau hanya untuk mencari uang.
Maka Laks memilih aktif di PDI Perjuangan. Sejak partai itu masih disudut-sudutkan penguasa saat itu.
Bahwa buku itu ia tulis sendiri dengan baik, Laks memang punya darah wartawan. Kakeknya wartawan. Bahkan tokoh perintis pers Indonesia: Didi Sukardi. Ayahnya pun wartawan terkenal di Antara: Gandhi Sukardi. Adiknya wartawan terkemuka. Pernah menjadi Sekjen PWI Pusat: Wina Armada Sukardi.
Kini Laks sedang menulis buku kedua. Segera terbit. Ia akan bercerita di seputar kasus yang sempat menyeretnya diperiksa Kejaksaan Agung.
Dari buku yang sudah terbit itu saya menjadi tahu bagaimana cara Megawati membela kader utama partai. Yang kadang tidak bisa dilakukan akibat rumitnya persoalan. Megawati terlihat tidak mau membela orang-orangnya secara frontal –terutama ketika yang dihadapi adalah TK, suaminyi sendiri.
Tapi, seperti terhadap Laks, Megawati begitu memperhatikan. Untung, di saat lagi seperti tidak dibela, Laks tetap loyal kepada Mega. Akhirnya Laks dapat posisi istimewa lagi: menjadi menteri BUMN untuk kali yang kedua.
Gara-gara membaca buku itu saya terdorong mencari nomor kontak Laks. Saya baru sadar belum pernah berkenalan, bertemu, atau berbicara dengan Laks.
Maka saya WA Laks: apakah Anda menerima reaksi keras dari kelompok-kelompok yang Anda tulis?
"Dari kelompok Gus Dur tidak ada reaksi. Megawati tidak ada masalah. Mungkin TK akan marah kalau masih hidup. Anyway mereka tidak pernah baca! ??," jawabnya. (*)