Dalam hal Covid, Mongolia pernah jadi buah bibir: seperti kebal Covid. Ketika Covid sudah menyebar ke mana-mana, tidak ada yang ke Mongolia.
Seperti juga Vietnam: tidak ada kasus Covid, saat itu. Mongolia dan Vietnam jadi buah bibir. Lebih baik daripada Taiwan yang begitu hebat dalam menaklukkan Covid. Tiga wilayah itu –Mongolia, Taiwan, dan Vietnam– berada di sekeliling pusat Covid: Wuhan di Tiongkok.
Akhirnya Vietnam jebol –meski tetap terkendali. Mongolia juga jebol –lebih parah. Taiwan sekarang ini juga agak mengkhawatirkan.
Saya pun menghubungi teman saya di Taipei kemarin.
"Anda pasti sudah vaksinasi kan?" tanya saya kepada teman itu.
"Belum," jawabnya.
"Hah? Kapan dapat giliran?"
"Belum tahu juga," jawabnya.
Taiwan memang termasuk tertinggal dalam vaksinasi. Maka, ketika belakangan kasus Covidnya melonjak menjadi kisaran 300/hari, hebohnya bukan main. Heboh tercampur khawatir.
Sampai kemarin baru 700.000 orang yang divaksin di Taiwan. Awalnya mereka hanya bisa menggunakan AstraZeneca. Baru belakangan ditambah Moderna.
Tentu tidak ada Sinovac maupun Sinopharm di Taiwan. Dia menolak menggunakan vaksin Tiongkok itu. Alasannya: politik. Padahal, Tiongkok terus mendorong Taiwan untuk mau menerima vaksin dari daratan.
"Tidak adakah Pfizer?" tanya saya lagi.
"Anda tahu sendirilah," jawabnya, lantas tertawa.
Ya, saya memang tahu. Tiongkok secara tidak langsung menghalangi pengiriman vaksin dari Amerika itu ke Taiwan. Agen tunggal Pfizer untuk Asia-Pasifik dipegang perusahaan Shanghai.
Minggu lalu Presiden Joe Biden mengirim 400.000 vaksin ke Taiwan. Bersamaan dengan kedatangan tiga anggota Kongres Amerika ke Taipei. Dua dari Partai Demokrat, satu dari Republik.
Biden lebih ''sopan'' daripada Presiden Donald Trump. Yang datang ke Taiwan bukan orang pemerintahan. Kalau toh ada yang dari pemerintahan, dipilihkan yang sudah pensiun. Sedangkan Trump dulu sengaja mengirim pejabat tinggi aktif ke Taiwan –yang oleh Tiongkok dianggap sebagai salah satu provinsinya.