Bingky-Budi bisa dianggap dwi tunggal di Boen Bio. Di saat mengurus Kelenteng itulah Budi berkenalan dengan Lany. Yang juga aktivis dan pengurus Kelenteng di Jalan Jagalan Surabaya.
Sebagai sesama aktivis Konghucu, pasangan ini ngotot harus kawin secara Konghucu. Didukung penuh oleh Bingky.
Bagaimanakah hari-hari terakhir Bingky?
“Pak Bingky buang air besar terus. Sampai badannya lemas," ujar Ny Bingky. Itu Sabtu lalu. Langsung dibawa ke rumah sakit. Keesokan harinya Bingky merasa sesak. Senin meninggal.
Bingky memang sering sakit. Lima tahun terakhir. "Pak Bingky terkena autoimmune," ujar Ny. Bingky. "Kalau lagi menyerang otot kaki, Pak Bingky kesakitan sekali," tambahnyi.
Itulah sebabnya tahun-tahun terakhir Bingky jarang ke Boen Bio. Lokasi Kelenteng itu di Pecinan Surabaya Utara. Padahal rumah Bingky di dekat Sepanjang, Surabaya Barat Daya.
Dua kali Gus Dur ke rumah itu. Yang tak lain juga toko mracangan. Sekali sebelum jadi presiden. Sekali lagi setelah tidak jadi presiden.
Di rumah itu, Bingky tidur di tempat tidur yang dulu dipakai Gus Dur –sengaja diberikan ke Bingky oleh yang empunya.
Gus Dur memang sayang sekali ke Bingky. Akhirnya Bingky lebih sering tinggal di Jakarta. Agar dekat dengan Gus Dur. "Sampai Pak Bingky dikontrakkan rumah sederhana oleh Gus Dur," ujar Ny Bingky.
"Yang bayar kontrakan siapa?" tanya saya.
"Ya Gus Dur lah. Mana Pak Bingky punya uang," ujarnyi.
"Kontrakan rumahnya di mana?"
“Pindah-pindah," tambahnyi.
Ada satu hal yang menyatukan tokoh Konghucu ini dengan tokoh NU itu: kepercayaan Jawa. Keduanya cocok sekali kalau sudah bicara soal kejawen.
"Anda bisa berbahasa Mandarin?" tanya saya pada Mas Agus, putra sulung Pak Bingky.
"Mboten saget," jawabnya. "Menawi boso Jowo kulo ngertos," tambahnya.