Oleh: Najmudin, S.Sos
Mahasiswa Magister Hukum UPS Tegal, Anggota Tim Kerja Pembangunan ZI Kemenag Kabupaten Tegal
Tahun 2021, Kantor Kementerian Agama Kabupaten Tegal diusulkan Kanwil Kemenag Provinsi Jateng untuk mengikuti penilaian tingkat nasional melalui program Zona Integritas guna meraih predikat Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dari Kementerian PAN-RB.
Jika tahun ini berhasil, maka tahun berikutnya akan diusulkan lagi untuk naik kelas menjadi Satker Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM).
Yang menjadi persoalan, untuk meraih predikat WBK/WBBM dari Kemenpan RB itu tidaklah mudah. Buktinya, sejak ditetapkan program ZI tahun 2015 lalu hingga kini belum ada satupun satker Kemenag Kabupaten dan Kota se Jawa Tengah yang berhasil lolos meraih predikat WBK.
Jika ada yang lolos WBK, itu pun baru Balai Diklat Keagamaan Semarang dan IAIN Salatiga. Di tingkat nasional, baru Kemenag Denpasar dan Kota Jogjakarta yang berhasil meraih predikat WBBM.
Sedikitnya ada dua alasan mengapa untuk meraih predikat WBK/WBM itu begitu sulit. Pertama, di tingkat internal instasi Kemenag harus benar-benar ulus uji bahwa manajemen perubahan, tatalaksana, manajemen SDM, pengawasan dan akuntabilitas Kemenag sudah memenuhi standar minimal lembar kerja evaluasi/LKE.
Ini dibuktikan dengan terpenuhinya kegiatan dan layanan masyarakat di 6 area perubahan sebagimana yang diminta dalam ketentuan Permenpan-RB Nomor 10/2019.
Alasan kedua, Kemenpan-RB dalam instrument penilaiannya melibatkan masyarakat penerima layanan Kemenag untuk menjadi semacam juri/penilai melalui survei.
Materi survei menyangkut kepuasan layanan dan persepsi korupsi serta dilakukan kepada 100-200 orang penerima jasa layanan Kemenag untuk tiga kategori, penerima layanan, yaitu; tunjangan profesi guru (TPG), layanan haji/umrah serta layanan pernikahan di KUA.
Jika jawaban responden tersebut tidak memadai, maka usulan meraih predikat WBK/WBM gugur.
Sinergitas Integritas
Untuk mewujudkan WBK, Kemenag sebagaimana persyaratan di atas tentu mustahil bisa dicapai hanya dengan kerja individual pimpinan atau tim kerja semata. Apalagi dengan sistem penilaian yang melibatkan masyarakat, maka mau tidak mau seluruh komponen yang ada dari pimpinan, para pejabat di level KUA dan madrasah sampai dengan para ASN pelaksana teknis harus mau bersinergi/bersatu padu dan bahu membahu bekerjasama dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya masing-masing dengan penuh tanggung jawab dan integritas. (selaras antara hati, pikiran, perbuatan yang baik dan benar).
Peran pimpinan/pejabat tentu sangat penting dimulai dari ‘keteladanan” dalam melaksanakan kedisiplinan/ketaatan atas aturan yang ada. Termasuk dalam berperilaku sesuai kode etik dan prilaku ASN. Perilaku anti korupsi, kolusi dan nepotisme juga harus tegas dicontohkan para pimpinan karena akan menjadi rujukan bagi prilaku bawahan.
Peran para ASN di level pelaksana teknis tak kalah penting. Pelaksanaaan tugas secara tulus ikhlas dan tuntas sesuai standar operasional prosedur (SOP) dengan konsep 3 S (salam, senyum, sapa) diyakini akan menjadi varian utama penentu kepuasan masyarakat.