Harjanto adalah ketua perkumpulan Tionghoa Semarang, Boen Hian Tong. Itu salah satu perkumpulan Tionghoa tertua di Indonesia. Sejak 1876. Hampir 150 tahun.
Awalnya lebih bersifat perkumpulan kesenian. Itulah yang akan dikembalikan Harjanto di kepemimpinannya sekarang.
Harjanto lulusan UC Davis, California. Satu almamater dengan Dr Marie Pangestu —mantan menteri perdagangan yang kini menjadi pejabat tinggi di IMF di Washington DC.
Di Amerika Serikat Harjanto memperdalam teknologi pengolahan makanan. Tahun 1990 ia pulang ke Semarang. Setelah mencoba berbagai bisnis, akhirnya Harjanto mendirikan pabrik minuman dan makanan olahan: Marimas.
Harjanto harus melakukan riset untuk memilih Ita Martadinata sebagai simbol korban kerusuhan Mei 1998. Ia pun menyebar medsos: siapa yang paling tahu tentang gadis berumur 17 tahun itu. "Akhirnya ada WA yang masuk ke HP saya. WA itu menyebut Bu Fatia Nadia yang paling tahu," ujar Harjanto.
Maka, Fatia pun diundang untuk berbicara di Zoom peringatan kerusuhan Mei 1998 Kamis malam lalu.
Fatia adalah lulusan sejarah sosial Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. Lalu, kuliah lagi di Belanda. Yakni, di studi pembangunan Institute of Social Studies, Den Haag.
Fatia ini pemberani. Luar biasa. Keyakinannyi begitu kuat: Ita dibunuh oleh sistem politik. Bukan dibunuh Otong, pembantu di rumah itu. Otong hanya dikorbankan. Ita, kata Fatia, juga bukan remaja yang punya kelainan seks seperti yang dikatakan aparat.
Fatia sendiri menerima teror bertubi-tubi. Tentu. Ancaman lewat telepon sudah sering. Tapi, Fatia selalu menjawab dengan tegas: tidak takut. Juga, tidak akan berhenti membela korban kerusuhan Mei.
Anak Fatia yang masih TK juga hampir diculik oknum. Untung, guru TK-nya langsung menarik anak itu. Fatia akhirnya mengirim anak itu ke rumah ibunyi.
Ancaman tidak hanya datang dari orang tidak dikenal. Selepas melapor ke Presiden B.J. Habibie, Fatia dipisahkan dari tokoh-tokoh wanita yang sama-sama menghadap presiden. Lalu, diajak ke ruang terpisah di istana. Di situ ada tiga jenderal, termasuk jenderal polisi. "Di tengah-tengah jenderal itulah, saya dituding dan diancam oleh Jenderal Sintong Panjaitan. Saya dikatakan sebagai orang yang menjelek-jelekkan Indonesia di dunia internasional," ujar Fatia.
Fatia pula yang mengantar jenazah Ita ke tempat kremasi. Memandikan. Menunggu kremasi selesai. Mengambil abunyi. Menaburkannyi di laut Tanjung Priok.
Fatia sendiri mengaku kehilangan jejak di mana mama dan papa Ita sekarang. Kakak Ita pernah bersaksi di kepolisian bahwa Ita bukan mati dibunuh dengan motif politik.
"Saya bukan ketua Komnas Perempuan," ujar Fatia mengoreksi Disway kemarin. "Saya salah satu pendiri Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Kemudian, menjadi komisioner tahun 1998—2006," katanyi.
Ketika peristiwa Mei 1998, Fatia adalah ketua Kalyanamitra. Yakni, sebuah LSM perempuan. Yang melakukan advokasi anti kekerasan terhadap perempuan dan hak-hak perempuan.
"Mei 98 saya diangkat menjadi ketua Tim Relawan untuk Kekerasan terhadap Perempuan," ujar Fatia. Tugasnyi, mendampingi dan mendokumentasi pemerkosaan Mei 98 dan membawa kasus tersebut ke komisi tinggi HAM PBB di Jenewa, Swiss.